Tiap kali muncul di publik terkait kasus Ferdy Sambo, Johnson Panjaitan nyaris selalu meledak. Kemarahan Johnson terakhir ditujukan pada Komnas HAM dan Komnas Perempuan karena mengeluarkan rekomendasi mengenai dugaan kekerasan seksual yang dialami Putri Candrawathi yang menurutnya tidak dalam konteks pro justitia. Johnson mengoreksi tindakan Komnas yang menurutnya harus sesuai ketentuan formal yang berawal dari pengaduan pada institusi penyidik kepolisian jika menyangkut delik kesusilaan dan seterusnya tetap merujuk pada hukum acara.
Hanya saja Johnson mungkin lupa kalau makna pro justitia sendiri tidak tunggal. Pro justitia berasal dari kata “for justice” yang secara terminologi lebih dekat dengan makna demi keadilan dalam proses penegakan hukum. Artinya spektrumnya jauh lebih luas dari sekedar harus melalui prosedur formal sebagaimana dikehendaki Johnson dalam proses penyidikan dugaan kekerasan seksual yang dilaporkan Putri Candrawathi.
Kaitan pro justitia dengan keterlibatan penuh Komnas HAM maupun Komnas Perempuan dari penyelidikan hingga rekomendasi ke penyidik Polri untuk ditindaklanjuti ke tahap selanjutnya hingga ke persidangan bila dianggap cukup bukti merujuk pada aturan yang mengikat Komnas sehingga juga bermakna pro justitia dalam batasan yang dimaksud Johnson.
Kewenangan Komnas melakukan pemanggilan serta wawancara terhadap semua pihak yang memiliki kaitan signifikan dengan kasus Sambo serta dugaan terjadinya kekerasan seksual yang dilaporkan atau diadukan Putri Candrawathi. Harus diakui kewenangan yang dimiliki Komnas meskipun hanya sampai pada tahap mengeluarkan rekomendasi jauh lebih strategis dibanding peran advokat yang mewakili tersangka yang haknya tak mampu menjangkau pihal lain di luar mereka yang terikat kuasa. Apa lagi advokat yang mewakili korban yang secara yuridis formal kepentingannya diwakili penyidik dan JPU.
Pernyataan Johnson yang mempermasalahkan keberadaan Komnas karena dicurigai berpihak akibat rekomendasi Komnas terhadap dugaan kekerasan seksual yang dialami Putri karena menurutnya tidak masuk akal. Padahal rekomendasi yang dikeluarkan Komnas merupakan konsekuensi yuridis dari proses investigasi berdasarkan aturan main yang mengikat Komnas. Soal rekomendasi dugaan terjadinya kekerasan seksual terhadap Putri lahir sebagai konsekuensi dari pengakuan tiga saksi fakta, Bharada Eliezer, Kuat Ma’ruf serta pengakuan saksi korban sendiri yang bersesuaian dengan kesaksian pacar Brigadir Joshua ditambah hasil assessment dua psikolog terlepas latar belakang para saksi dan ahli yang berdasarkan pernyataan Ketua Komnas HAM masih bagian dari circle Ferdy Sambo.
Fakta ini yang sulit diterima Johnson karena selain memosisikan kliennya sebagai terduga pelaku juga meletakkan pondasi yang kokoh sebagai dasar legitimasi terhadap tindakan Sambo mengeksekusi Brigadir Joshua karena alasan harga diri dan martabat keluarga yang dilecehkan. Kesan ini pula yang ditangkap publik sebagai bagian dari skenario meringankan Sambo di pengadilan kelak.
Mari kita tinggalkan materi yang merupakan kewenangan penyidik untuk melihat sejauh mana keterlibatan organisasi profesi merespon problem yang dihadapi advokat terutama yang bersifat struktural.
Kemarahan Johnson bisa jadi merupakan akumulasi berbagai perlakuan yang dirasakan tidak adil selama mendampingi keluarga Brigadir Joshua termasuk penolakan saat bermaksud menghadiri jalannya rekonstruksi. Apa yang dialami Johnson cs sebagai advokat yang mewakili keluarga korban merupakan cerminan dari rendahnya posisi tawar advokat di depan aparat penegak hukum lain, polisi maupun jaksa. Tidak adanya keharusan menghadirkan advokat sebagai representasi korban atau keluarga korban secara logis terdengar janggal ketika justru regulasi memberi ruang yang lapang pada Komnas atau Kompolnas yang menurut Johnson justru bukan bagian dari pro justitia.
Alasan normatif bahwa korban sudah diwakili oleh penyidik dan JPU seharusnya tidak otomatis menghilangkan hak korban/keluarganya atau kuasanya. Apa lagi pada saat yang sama KUHAP tidak melarang kuasa keluarga korban hadir menyaksikan jalannya rekonstruksi. Kondisi tidak equal ini yang diprotes Johnson cs terutama di tengah upaya memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian yang anjlok akibat kasus Sambo. Apa yang selalu diteriakkannya sebagai upaya menegakkan transparansi serta akuntabilitas menurut Johnson dikutip dari pernyataan petinggi Polri sendiri sehingga tidak ada alasan menolak kehadiran wakil korban atau keluarganya dalam rekonstruksi.
Keberatan Johnson Panjaitan terhadap perlakuan yang diterimanya sebagai kuasa korban menuai dukungan publik. Kondisi memperihatinkan ini seharusnya direspon cepat oleh organisasi profesi. Sikap organisasi profesi yang memilih bungkam terhadap realitas yang dialami advokat menunjukkan para petinggi organisasi tidak memahami atau pura-pura tidak tahu masalah yang dihadapi advokat di lapangan.
Prof. (H.C.) Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.C.L., M.M yang merupakan Ketua Peradi dan menjadi representasi organisasi advokat dengan jumlah anggota terbesar pada akhirnnya muncul ke ruang publik membicarakan kasus Sambo. Otto yang seharusnya tampil di garda terdepan sebagai representasi advokat menyuarakan ketidakadilan serta kesulitan yang dihadapi Johnson cs serta nasib Deolipa Yumara dan Burhanuddin yang dengan enteng kuasanya dicabut padahal yang bersangkutan telah bekerja keras bahkan mempertaruhkan keselamatannya walau tanpa dibayar atau probono. Kehadiran Otto di ruang publik saat membahas kasus Sambo sama sekali tidak menyinggung masalah yang dihadapi Johnson maupun Deolipa dan Burhanuddin.
Manuver Deolipa dan M Burhanuddin menggugat Bharada E hingga Kapolri senilai Rp 15 miliar di luar “Fee” Rp 15 Triliun merupakan bentuk perlawanan simbolik untuk tidak menyebutnya “keputusasaan” karena ketiadaan regulasi yang bisa melindungi advokat dari perbuatan semena-mena bahkan dari kliennya sendiri. Kehadiran Otto di ruang publik mengomentari kasus Sambo rupanya tidak memiliki kaitan dengan problem mendasar yang sedang dihadapi Johnson maupun Deolipa serta advokat lain di lapangan.
Absennya organisasi saat advokat berada dalam kepungan masalah yang bersifat struktural yang membutuhkan intervensi organisasi menjadi bukti perjuangan advokat untuk memperoleh posisi setara dengan penegak hukum lain masih jauh panggang dari api.