BANJIR MAKASSAR DALAM BINGKAI TEOLOGI

Surat Edaran Wali Kota Makassar bertanggal 02 Maret 2023 berisi anjuran menggelar doa bersama agar Kota Makassar dan sekitarnya terhindar dari marabahaya merujuk pada laporan BMKG yang memperkirakan cuaca buruk mengancam Kota Makassar dan sekitarnya berpotensi bencana dishare berulangkali di media sosial.

Saya tidak kaget dengan anjuran doa bersama ini, yang sedikit mengganggu karena anjuran ini dikemas dalam surat edaran. Meskipun tidak termasuk peraturan perundang-undangan namun sebagai produk hukum secara materil isi surat edaran mengikat ke dalam. 

Benar tidak ada larangan menggelar doa  bersama dalam islam untuk mencegah bencana bahkan dianjurkan. Namun sejatinya urusan doa adalah urusan yang sangat intim antara hamba dengan Tuhannya sehingga tidak seharusnya dimobilisasi lewat instrumen hukum.

Meskipun tidak termasuk peraturan perundang-undangan, anjuran lewat surat edaran memiliki implikasi yang tidak sederhana di level pemerintahan di bawahnya.

Masih segar dalam memori publik beberapa waktu lalu di tengah genangan setinggi perut orang dewasa Danny Pomanto menyampaikan keperihatinannya atas musibah banjir yang melanda Kota Makassar. Mengawali penjelasannya mengenai penyebab banjir akibat tingginya curah hujan Danny mengawalinya dengan ucapan, “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” yang secara harfiah bermakna, “Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali“. Lewat ucapan belasungkawa tersebut tampaknya Danny sekaligus bermaksud menyampaikan pada publik bahwa banjir yang melanda Makassar datang atas kehendak Tuhan dan karena itu tidak perlu saling menyalahkan. Di sini pentingnya mengutip idiom agama sebagai justifikasi teologis.

Publik bisa membayangkan prosesi selanjutnya, semacam doa bersama di rumah jabatan wali kota atau di panggung terbuka yang melibatkan alim ulama dan publik Makassar. Rupanya dugaan saya melesat yang datang bukan undangan terbuka untuk doa bersama melainkan surat edaran.

Tentu tidak ada yang keliru dengan ucapan Danny. Ekspresi kepasrahan seorang hamba dalam merespon bencana merupakan wujud keikhlasan menerima bahwa semua hal berasal dan pada Tuhan segalanya akan kembali.

Lantas apa relevansinya membicarakan tindakan atau kebijakan Danny terkait banjir dengan ucapan belasungkawa saat sedang menyampaikan keprihatinannya mengenai banjir? 

Pengambilan gambar di tengah genangan setinggi perut orang dewasa tidak terjadi secara kebetulan. Pilihan angel yang tepat memungkinkan pesan yang ingin disampaikan berjalan mulus. Menceburkan diri di tengah banjir setinggi perut Danny bermaksud menunjukkan keperihatinan yang mendalam serta penuh empati dibanding misalnya disampaikan di tengah kesibukan di dalam gedung bertemperatur nyaman. Di momen melodramatik ini pelibatan idiom agama diharapkan menciptakan suasana magis dan sakral. Sayangnya  publik sudah terbiasa dengan prilaku tidak jujur para politisi yang licin memanfaatkan momentum.

TERKAIT:  Laki-Laki dari Timur itu Satu Darah

John Grant, pakar marketing dan penulis buku, After image; Mind- altering Marketing menyebut hari ini pencitraan tidak bisa lagi dengan basa-basi serta omong kosong dengan memanipulasi kesadaran publik lewat media. Kepura-puraan tidak akan mempengaruhi prilaku pemilih. Grant menawarkan apa yang disebutnya program kemasyarakatan yang berbasis experiental learning yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.

Kesalahan membangun persepsi bisa berbalik menghancurkan citra seorang tokoh politik. Bermain api dengan simbol agama tanpa memiliki pemahaman memadai justru menunjukkan ketidakpahaman terhadap subtansi islam itu sendiri.

Dibalik penggunaan bahasa agama serta upaya mobilisasi masyarakat untuk menggelar doa bersama lewat surat edaran terkesan bertujuan menjustifikasi bahwa bencana yang mengancam dan menerpa Kota Makassar berada di luar jangkauan serta tanggung-jawab wali kota. Fenomena ini sekaligus menunjukkan ketidakpahaman Danny terhadap sudut pandang islam dalam melihat bencana.

Islam tidak hanya melulu berurusan dengan masalah peribadatan. Jika di satu sisi penguasa menemukan ceruk untuk mengemas kegagalannya mengelola kota dengan mengutip dalil sebagai pembenar maka pada ayat yang lain Tuhan justru terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan sombong serta berbuat kerusakan.   

Alangkah naifnya umat manusia setelah belantara Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi digunduli dan mengakibatkan bencana lantas tanpa rasa bersalah mengatakan semua atas kehendak Tuhan. Setelah kesalahan ditimpahkan pada Tuhan lalu atas ajakan penguasa beramai-ramai memohon pada Tuhan agar terhindar dari marabahaya.

Mengapa tidak sekalian melantungkan doa secara bersama-sama menghujat para pengambil kebijakan yang merusak alam.

Sebagai gambaran kata Al-Ilm (ilmu) beserta derivasinya disebut 854 kali dalam Qur’an sementara Al-Iman (Iman) dalam bentuk difinite disebut hanya sebanyak 8 kali, sedang dalam bentuk indifinite sebanyak 17 kali. Fakta ini menunjukkan betapa islam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai isu sentral. Jadi sulit dipahami jika ada umat islam yang mengabaikan penjelasan pengetahuan kebencanaan dan memperioritaskan aspek teologi dalam memandang bencana.

Jika perspektif Qur’ani ingin diadopsi oleh wali kota untuk menata kota agar terbebas dari banjir formulanya jelas. Selain doa prioritas utama islam justru diletakkan pada pendekatan ilmu pengetahuan yang komprehensip serta teruji.  

Banjir Makassar bukan karena kemarahan Tuhan, melainkan karena salah urus, dan itu bisa dijelaskan dengan baik oleh setiap warga Makasaar. 

Meminjam penjelasan Laode Syarif, Dosen Fak. Hukum Unhas yang sebelum menjabat Komisioner KPK pernah terlibat aktif dalam studi lingkungan di Pusat Studi Lingkungan Unhas menyebut beberapa variabel penyebab banjir di Kota Makassar. Menurut pengampu mata kuliah Hukum Internasional di Fakultas Hukum Unhas ini penyebab makin parahnya banjir di Kota Makassar antara lain, proyek rekmasi pantai losari yang saat ini berlangsung,  rawa-rawa di Makassar terus beralih fungsi menjadi area perkantoran, pusat usaha dan perumahan, masalah drainase yang tak kunjung membaik,  pendangkalan sejumlah sungai di Makassar dan sekitarnya seperti Sungai Tallo, Sungai Jeneberang yang tidak pernah dikeruk, ruang terbuka hijau yang tidak memadai, tingkat kepatuhan RT/RW di Makassar terhadap tata ruang.

TERKAIT:  Langkah Kontroversi Menjelang Pemilu, Pj Gubernur Sulsel Didesak Mundur Demonstran

Terakhir Laode mengeritik tidak adanya kebijakan terpadu antara Pemerintah Kota dengan Provinsi yang terbukti jitu terkait permasalahan banjir. Menurut Laode Kota Makassar tak berkaca ke Jakarta yang dalam mengatasi banjir terlihat perkembangan signifikan dalam hal pengerukan sungai, pemeliharaan gorong-gorong dan seterusnya.

Kritik yang disampaikan Laode sebenarnya terlalu jamak, namun yang pasti makin memburuknya banjir di Kota Makassar akibat ulah pengambil kebijakan yang lebih berpihak pada modal yang memporak-porandakan lingkungan serta menciptakan tata kota yang amburadul dan berujung pada banjir serta kesemrawutan lainnya. Sialnya kebijakan ugal-ugalan yang dilakukan dari wali kota ke wali kota ini berusaha dikemas lewat berbagai jargon pembangunan hingga teologi. Aspek spritualitas islam ikut digiring dan dimanfaatkan untuk membingkai ketidakbecusan para pengambil kebijakan.

Apakah Wali Kota Makassar tidak paham penyebab banjir serta strategi pencegahan dan penanggulangannya?

Pak Wali tentu saja hatam di luar kepala soal banjir Makassar halnya dengan pakar di lingkaran kekuasaan yang fasih prihal tata kota yang baik, belum lagi hasil riset yang melimpah. Masalahnya para pengambil kebijakan ini tidak cukup nyali bersikap tegas terhadap para pelanggar aturan. Bayangkan jika pencegahan dan penanggulangan banjir mensyaratkan pemulihan daerah resapan atau penghentikan reklamasi yang menurut sejumlah kalangan justru merupakan sumber logistik dalam menghadapi kontestasi politik yang makin transaksional. Tak kurang Mahfud sering menyinggung keterlibatan bandar politik dalam setiap mega proyek yang dikerjakan pemerintah daerah.

Terkait perspektif islam akan pentingnya menjaga lingkungan, dalam Al-Qur’an  Allah tanpa basa basi menunjukkan ketidaksukaannya pada mereka yang berjalan di muka bumi dengan sombong serta merusak alam. Bencana  banjir merupakan konsekuensi logis (sunnatullah) dari tindakan arogansi pengambil keputusan terhadap peringatan Tuhan.  Ketika rumah-rumah air ditimbun untuk perumahan elit serta mega proyek atas nama kemajuan dan pembangunan air sebagaimana fitrahnya akan mencari rumah baru di daerah rendah tempat warga miskin bermukim. Saat pantai yang merupakan ruang publik direklamasi dan dikuasai para pemodal besar, bukan hanya akses publik menikmati senja yang di rampas tapi juga petaka yang harus ditanggung masyarakat kecil akibat kebijakan sialan para pengambil keputusan.

TERKAIT:  Kasus Mangkrak, PH Korban Penipuan 2,4 Miliyar Kembali Pertanyakan Kinerja Polres Banggai

Islam tidak berisi petunjuk teknis cara mengelola kota yang asri serta ramah terhadap semua lapisan karena hanya akan membuat islam serupa dengan buku pintar yang akan lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan. Islam bicara di tataran etik. Pesan etis mengenai bagaimana lingkungan dijaga, kelompok rentang dilindungi clear dalam islam serta agama dan kepercayaan lain di Indonesia. Islam halnya dengan agama lain menekankan aspek ikhtiar maksimal sembari berdoa memohon pertolongan Tuhan. Bukan sebaliknya tak berbuat banyak terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan bahkan sebalinya memperburuk keadaan lalu memohon perlindungan Tuhan. 

Dari sini kecurigaan publik kalau idiom agama hanya dimanfaatkan untuk menghindar dari tanggung-jawab dengan cara menggesernya sebagai kehendak Tuhan.

Ketika Karl Marx menyebut agama sebagai candu bagi masyarakat, sebenarnya Marx bermaksud mengingatkan betapa berbahayanya tindakan penguasa yang selalu berusaha memanipulasi kesadaran rakyat agar tetap taat pada penguasa dengan memanfaatkan idiom atau tafsir tertentu suatu agama. Pola ini terus berulang dari penguasa ke penguasa berikutnya karena dipandang efektif melanggengkan kekuasaan dan modal.

 

 

 

 

 

 

Pertama perhatikan peran tokoh dari Rektor sebagai top managemen kampus yg begeser menjadi sub ordinat sebagai wakil bupati yg bisa dgn segera diterjemahkan sebagai upaya kembali menegaskan peran tradisional dengan tupoksi sebagai pendamping bupati dlm uu.

Akibatnya terma mendobrak tradisi menjadi tdk relevan.

Tradisi timur perempuan itu diposisikan sebagai pendamping suami yg aktivitasnya di ruang domestik yg dlm tradisi Jawa diwebuy konco wingking atau teman di belakang yg monilitasnya bekutay antara sumur kasur dan dapur.

Cara terbaik membalik streotip ini dgn memberi peran lbh besar pada wakil melalui komitmen dgn bupati lewat pembagian peran jika kelak terpilih.

Strategi ini menunjukkan posisi tawar wakil menjadi superior atau setidaknya setara dengan bupati. Strategi ini tidak hanya berhasil mendobrak tradisi patriarki tapi juga sekaligus ketentuan perundangan????

Ingat Joni Lovenduski penulis buku “Politik Berparas Perempuan” yang menelusuri praktik diskriminasi perwmouan di ruang oublik trrmasuk di parlemen eropa dgn ko disi politisi perempuan lebih miskin dari laki-laki dan cenderung tidak ditempatkan pada jabatan-jabatan yang mendukung kegiatan politik.