Maraknya Cyber Crime & Absennya Pemerintah Daerah

Maraknya Cyber Crime & Absennya Pemerintah Daerah

Setelah kembali menangkap 10 orang beberapa bulan lalu, maka terhitung sejak 2020 sudah 31 hacker peretas akun dan pembobol kartu kredit digelandang Polres Soppeng. Umumnya para hacker asal Soppeng ini berusia muda, bahkan diantaranya ada yang masih berstatus pelajar.

Dari jenis aktivitas serta tujuan, hacker dibedakan atas black hat hacker yang menjalankan aksinya secara ilegal, merugikan pihak lain dengan tujuan mencari keuntungan. Sementara mereka yang dikategorikan sebagai white hat hacker mengamalkan skill-nya hanya untuk hal positif. Para black hat hacker asal Soppeng ini meretas, mentransmisi informasi serta membobol kartu kredit orang lain termasuk warga negara asing.

Maraknya aktivitas cyber crime di Soppeng bahkan pasca beberapa kali penangkapan oleh Polres Soppeng belum memperoleh perhatian publik secara serius. Pemerintah serta masyarakat Soppeng masih menyerahkan penanganan sepenuhnya pada penegak hukum. Pendekatan retributive justice yang lebih menekankan aspek penindakan atau pembalasan terhadap anak muda yang terlibat cyber crime bukan langkah bijak. Akibatnya aktivitas para black hat hacker bukannya mereda, sebaliknya justru makin ramai. Cyber crime bukan jenis kejahatan konvensional dimana pelakunya membongkar ATM atau menjambret dompet orang di jalanan yang secara sepontan memicu kemarahan publik. Black hat hacker bekerja dalam senyap dan canggi, seringkali korbannya tidak menyadari kalau akun mereka diretas dan kartu kredit mereka digasak.

TERKAIT:  Pengetahuan Senyap, Tak Berjejak?

Dalam kasus cyber crime yang marak di Soppeng konon tidak ada pihak yang mengaku sebagai korban karena bisa jadi selain tidak menyadari akun atau kartu kredit mereka telah diretas juga sebagian besar korbannya adalah warga negara asing. Secara yuridis hal ini memantik debat, bagaimana disebut sebagai kejahatan kalau tidak ada pihak yang keberatan dan mengaku sebagai korban? Bagaimana pula dengan status barang bukti yang disita dari para pelaku, dan seterusnya.

Menanggulangi aktivitas cyber crime sangat tidak mudah karena selain dibutuhkan aparat dengan skill tinggi untuk menandingi keahlian tingkat dewa para hacker, korban kejahatan para hacker berada belasan ribu km dari tempat mereka melancarkan aksinya. Secara yuridis kejahatan yang melintasi batas negara memerlukan penangan khusus dan rumit. Kondisi ini mestinya disadari bukan hanya para aparat hukum tapi juga pemerintah, terutama Pemda Soppeng dalam konteks maraknya aktivitas cyber crime di wilayahnya.

TERKAIT:  Membongkar Motif Pembunuhan untuk Agenda Reformasi Kepolisian

Fenomena maraknya aktivitas black hat hacker ini merupakan ironi di tengah lemahnya penguasaan teknologi informasi berbasis internet dalam sistem pengelolaan birokrasi negara.

Skill tinggi yang dimiliki para black hat hacker jika diarahkan pada aktivitas positif hasilnya bisa sangat luar biasa. Salah satunya dengan memberi ruang serta aksesibilitas untuk terlibat pada program pemerintah daerah. Sejatinya hacker merupakan profesi ketika seseorang mempunyai job desk, seperti modifikasi atau menulis program di komputer dengan cara yang lebih cerdik misalnya. Belakangan jasa hacker untuk kebutuhan peningkatan cyber security merupakan bisnis menggiurkan.

Untuk menjadi seorang white hat hacker profesional menurut Wahyu Bimo Sukarno, Lead System Administrator di PT. Solusi Kampus Indonesia yang dikutip dari ecampuz.com menyebut, “Hal utama yang harus diterapkan adalah kemauan untuk terus belajar, mengambil sertifikasi ethical hacker, mengikuti komunitas, terjun langsung dalam kegiatan cyber security, dan mengikuti akademi terbaik terkait IT”.

TERKAIT:  Surat Terbuka Untuk Kapolda Sulsel

Pemerintah daerah seharusnya mengambil peran dengan mengarahkan, memotivasi serta menyiapkan fasilitas pada anak-anak muda berbakat ini agar bisa berprestasi maksimal tanpa harus bersinggungan dengan kejahatan dunia maya. (RT)