Sukses menggelar Festival La Galigo III yang mendatangkan pakar dalam negeri maupun manca negara 2018 silam, Pemerintah Kabupaten Soppeng tahun ini, tepatnya 15-18 Juli 2023 mendatang kembali menggelar agenda serupa dengan tema yang tak kalah menarik, “Gau Maraja La Patau”.
Sayangnya literatur yang terbatas menyulitkan publik mengenal sosok La Patau dengan baik. Tak ditemukan hasil riset serius apalagi riset terbaru yang dianggap mampu mengubah pemahaman lama yang keliru mengenai sang tokoh sehingga cukup alasan mengankatnya dalam sebuah seminar internasional sesuai kelaziman.
Secra harfiah “Gau Maraja” bermakna “Hajatan Akbar”. Sementara “La Patau” sendiri adalah nama Raja Bone XVI yang sebelum dinobatkan secara resmi sebagai Mangkau, La Patau pernah memerintah di Soppeng dengan gelar Datu Soppeng XVIII dan Ranreng Tuwa (Wajo) XVIII.
Jadi “Gau Maraja La Patau” bermakna “Hajatan Besar La Patau” atau pemilik hajatan akbar tersebut adalah La Patau yang karena sang tokoh sendiri telah lama meninggal dunia maka hajatannya digelar oleh anak cucu atau keluarga besarnya. Mungkin karena La Patau pernah jadi Datu di Soppeng sebelum diangkat sebagai Mangkau di Bone sehingga Pemerintah Kabupaten Soppeng bekerjasama dengan PERWIRA La Patau (Perhimpunan Wija Raja La Patau) menggelar hajatannya sebagai representasi masyarakat Soppeng yang pernah dipimpingnya.
Halnya dengan Arung Palakka yang sebelum diangkat sebagai Raja Bone adalah Datu Soppeng yang bergelar Datu Mario dengan nama kecil, La Tenritatta To Unru Daeng Serang. Fakta ini menunjukkan kalau Bone dan Soppeng memiliki pertalian darah yang rapat. Alasan kedekatan ini juga mungkin mengapa “Gau Maraja La Patau” digelar secara besar-besaran oleh Pemkab Soppeng dan bukan kabupaten lain.
Masyarakat Soppeng boleh berbangga punya pemimpin yang memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kebudayaan. Dengan wilayah yang terbilang kecil untuk ukuran Sulawesi Selatan elit politik Soppeng bersedia memberi ruang yang lapang pada agenda kebudayaan di tengah prioritas pembangunan infrastruktur fisik.
Di sini arti penting sejarah sebagai bagian tak terpisahkan dalam membangun peradaban. Sejarah sebagai laboratorium kehidupan berperan penting bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan setiap keputusan yang bersifat publik. Hanya saja menurut Aslan Abidin, Satrawan, Penulis yang juga Dosen Fak. Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar (UNM) kelahiran Soppeng; “Penulis dan penulisan sejarah seringkali lebih bersifat heroik dibanding berpihak ke korban”.
Berkaca pada apa yang terjadi di masa lalu tidak berarti bermaksud membangkitkan romantisme. Sebaliknya seperti kata filsuf berkebangsaan Spanyol, George Santayana, “Mereka yang tak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya”.
Sosok La Patau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng merupakan Raja Bone XVI yang pertama memeluk agama islam dan bergelar Sultan Adzimuddin Idris. Sejumlah kalangan menekankan aspek ketokohan La Patau karena variabel islam ini. Namun dibanding nama besar Arung Palakka yang juga pamannya, nama La Patau tertimbun jauh.
La Patau terlahir dari rahim adik perempuan Arung Palakka yang bernama We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka yang dinikahi Putra Sultan Bone XIII, La Maddaremmeng.
Mengapa penyelenggara Gau Maraja menjatuhkan pilihan pada sosok La Patau menjadi pertanyaan sejumlah kalangan. Bukankah La Patau lebih dikenal sebagai Raja Bone tinimbang sebagai Datu Soppeng. Apakah seminar internasional ini bermaksud mengelaborasi eksistensi La Patau sebagai Datu Soppeng yang tidak begitu populer di kalangan masyarakat Soppeng sendiri.
Mengapa misalnya pilihan tidak jatuh pada Arung Bila yang terkenal sebagai “Tomaccana Soppeng” yang memiliki legacy berupa pangaderen yang cukup populer dan lazim dikutip dalam percakapan sehari-hari masyarakat Soppeng namun sosoknya masih diliputi kontroversi dan misteri.
Pandangan Arung Bila mengenai tata pemerintahan dan tata masyarakat yang dimuat dalam buku Dr. B.F. Mathes Boegineshe Christomathie yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1872 menjadi bukti Arung Bila pantas bahkan perlu diangkat dan dibicarakan secara serius oleh masyarakat dan Pemkab Soppeng.
Sejumlah pertanyaan lain ikut menggelayut di benak publik terutama minimnya publikasi terkait pembicara yang akan hadir serta materi yang akan disajikan. Hal ini membuat beberapa akademisi yang berniat hadir ragu-ragu apakah akan mempertaruhkan waktu serta aktivitas mereka demi menghadiri agenda yang dari tema besarnya cukup seksi. Sementara undangan terbuka sudah beredar luas di publik. Dilema yang sama dirasakan publik yang mengikuti perogres kegiatan ini day to day.
Andi Ahmad Saransi, budayawan yang juga putra Soppeng yang berkecimpung di dunia naskah menulis legacy La Patau pada
berperan menyatukan kerajaan besar di Sulawesi lewat jalur perkawinan agung yang berporos pada Bone dan Soppeng. Perkawinan politik ini diawali saat Datu Mario menjodohkan La Patau dengan putri Datu Luwu yang bergelar I Yummu Opu Larompong. Padahal Datu Luwu dan Datu Mario pernah berhadap-hadapan dalam pertempuran laut di Buton.
Berperan sebagai king maker, Datu Mario melanjutkan strategi penyatuan kerajaan lewat jalur perkawinan dengan kembali menjodohkan La Patau dengan I Mariyama, anak dari Sultan Abdul Jalil Raja Gowa ke-19. Dengan politik perkawinan tersebut konflik Arung Palakka yang bersekutu dengan VOC saat melawan Kerajaan Gowa menjadi cair.
Mengikuti logika Andi Ahmad, peran La Patau tidak bisa dilepaskan dari sosok Arung Palakka yang bergelar Datu Mario yang juga pamannya. Aktor utama dibalik penyatuan kerajaan besar di Sulawesi Selatan sejatinya adalah Datu Mario, bukan La Patau.
Berharap catatan singkat ini bisa menggambarkan sosok La Patau sebagai narasi besar dengan segala kompleksitasnya tentu saja jauh panggang dari api. Namun setidaknya catatan ini berpotensi memantik perbincangan kritis di ruang publik sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya memeriahkan Perhelatan Akbar La Patau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng.