Pasca pencoblosan 27 November 2024 kemarin paslon yang dinyatakan sebagai peraih suara terbanyak versi real count maupun metode hitung cepat lainnya belum sepenuhnya bisa membuat mereka tidur nyenyak.
Sejumlah kemungkinan masih mengganggu pikiran mereka, antara lain kemungkinan adanya pengajuan keberatan ke MK oleh paslon yang tidak puas dengan hasil penetapan resmi KPU yang biasanya tidak berbeda jauh dengan hasil real count.
Kecemasan ini bukan pada kemungkinan keluarnya putusan diskualifikasi pemenang apalagi sekadar perintah pemungutan atau perhitungan suara ulang (PSU) di TPS tertentu melainkan terutama karena paslon serta tim pemenangan yang sudah berbulan-bulan berjibaku memperjuangkan kemenangan dengan energi yang terkuras habis kembali harus meluangkan waktu serta tenaga menghadapi sengketa di MK dengan menyiapkan dokumen serta saksi yang harus diboyong ke Gedung MK di Jakarta.
Konsentrasi sengketa yang terpusat di MK bak benang kusut yang sulit diurai terutama sejak kebijakan pilkada serentak diberlakukan. Bisa dibayangkan bila pada pilkada serentak seluruh Indonesia yang digelar 27 November 2024 diikuti 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota dengan keterbatasan jumlah hakim konstitusi serta batas waktu penyelesaian yang super ketat.
Pembatasan jumlah perkara yang masuk ke MK sudah diupayakan lewat Pasal 158 UU 10/2016 mengenai syarat formil pengajuan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) dengan syarat paslon yang bisa mengajukan keberatan ke MK harus merujuk pada ambang batas selisih perolehan suara dengan paslon peraih suara terbanyak berdasarkan hasil penetapan KPU antara 1,5 hingga maksimal 2 persen yang ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk suatu daerah.
Dari total 24 daerah di Sulsel yang meliputi 21 kabupaten, tiga kota serta pemilihan gubernur, satu-satunya daerah yang hasil perolehan suara antar paslon bersaing ketat dan berada dalam selisih ambang batas yang ditolirer undang-undang untuk mengajukan sengketa PHP ke MK adalah Kabupaten Jeneponto. Kondisi lebih parah terjadi di Sulsel di pilkada serentak 2020 lalu dimana tak satu pun daerah yang memenuhi ambang batas sehingga seluruh permohonan sengketa PHP rontok sebelum memasuki tahap pemeriksaan saksi atau seluruh permohonan ditolak MK lewat Putusan Sela akibat tidak memenuhi syarat formil mengenai ambang batas.
Hanya saja meskipun sudah ditetapkan syarat formil pengajuan PHP yang demikian ketat, MK dipandang tidak konsisten manaati perintah undang-undang karena tetap memberi ruang pada pemohon selama ditemukan pelanggaran atau kecurangan yang bersifat terstruktur sistematis dan masif (TSM).
Sialnya, dugaan pelanggaran yang bersifat TSM tidak mungkin bisa diketahui dengan pasti lewat pemeriksaan pendahuluan dengan hanya sebatas melihat berkas serta klaim pemohon sehingga menjadi alasan bagi majelis hakim konstitusi melakulan pemeriksaan dengan terlebih dahulu mendengar jawaban KPU selaku termohon serta paslon peraih suara terbanyak di depan persidangan.
Peluang mengajukan permohonan PHP ke MK karena alasan pelanggaran yang bersifat TSM merupakan alasan favorit pihak yang kalah ini yang berkontribusi signifikan terhadap besarnya jumlah permohonan PHP pasca keluarnya batasan maksimal pengajuan sengketa ke MK.
Sebagai illustrasi, hasil real count pilkada Maros jumlah perolehan suara antara paslon CS-TA versus Kotak Kosong memiliki selisih yang terbilang besar yakni 27 persen atau sekitar 53 ribu lebih selisih suara, jauh melampaui ambang batas yang ditentukan undang-undang, plus tidak ditemukannya pelanggaran yang bersifat TSM. Akibatnya publik bisa keheranan kalau sampai terdengar rumor ada lembaga pemantau karena legal standing yang dimilikinya bermaksud mengajukan permohonan perselisihan ke MK mewakili kotak kosong.
Menjadi menarik jika lembaga pemantau yang mewakili kotak kosong dalam konteks pilkada dengan paslon tunggal bermaksud menguji profesionalitas serta integritas KPU sebagai penyelenggara pemilu, namun jangan sampai mereka lupa kalau pengajuan permohonan ke MK penting memastikan syarat formil pengajuan permohonan serta kualitas pelanggaran yang bersifat TSM sehingga tidak terkesan asal-asalan.
Jika permohonan sengketa sudah didaftarkan ke MK oleh lembaga pemantau maka APBD berjumlah ratusan juta akan digelontorkan dan digunakan KPU untuk biaya operasional sengeta serta biaya lain selaku pihak termohon di MK.
Bagi warga hal ini memicu pertanyaan kritis, jika selisih perolehan suara antara paslon tunggal dengan kotak kosong berada di luar batasan yang ditentukan untuk mengajukan sengketa ke MK plus tidak ditemukan adanya pelanggaran yang bersifat TSM selama pilkada berlangsung, lantas atas dasar apa lembaga pemantau masih hendak mengajukan perselisihan ke MK?
Bagaimana bila kelak prediksi publik benar bahwa permohonan yang tidak logis dan mengabaikan syarat serta ketentuan undang-undang dan terkesan bermaksud meloloskan anggaran bagi KPU terbukti ditolak MK, bagaimana dengan anggaran daerah yang hilang begitu saja padahal seharusnya bisa dicegah dengan tidak perlu mengajukan permohonan karena hasil akhirnya bisa diprediksi.
Dalam pilkada dengan paslon tunggal, eksistensi lembaga pemantau yang terakreditasi KPU sekalipun memiliki legal standing mewakili kotak kosong sebagai pemohon sengketa PHP sejatinya merupakan perwakilan masyarakat sehingga seluruh keputusan atau tindakan yang diambilnya termasuk keputusan mengajukan sengketa ke MK perlu mempertimbangkan aspirasi masyarakat termasuk kewajiban menghindari penggunaan APBD yang untuk hal yang tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.
Di sini peran penting KPU menyeleksi serta memastikan hanya lembaga pemantau yang personilnya memiliki pengalaman dan reputasi kepemiluan serta terbukti memiliki integritas yang tidak diragukan yang diloloskan serta diakreditasi sebagai pemantau pilkada.
Bila dalam pilkada dengan paslon tunggal versus kotak kosong seperti di pilkada Maros, jika sudah diingatkan publik lembaga pemantau masih tetap ngotot mengajukan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) yang bisa ditebak akan ditolak dalam Putusan Sela karena tidak memenuhi ambang batas yang ditentukan undang-undang atau syarat formil sehingga terkesan bertujuan mencairkan dana APBD maka sebaiknya publik menguji masalah ini dengan melaporkannya ke penyidik sebagai dugaan tindak pidana korupsi termasuk melaporkan penyelenggara pemilu sebagai pihak yang meloloskan lembaga tersebut.
Berbeda jika yang kalah dan mengajukan permohonan sengketa PHP ke MK adalah paslon yang sejatinya memperjuangkan kepentingan sendiri dan tidak perlu memperhitungkan kepentingan masyarakat luas.