Kekuatan Visual diantara Sampah Narasi

” Research suggests we are far better at learning and remembering content we’ve seen in pictures than as text, a phenomenon know as the picture superiority effect ”         (Dikutip dari Internet)

Keberhasilan Alfiansyah Bustami alias Komeng menembus kursi DPD RI dengan suara terbanyak pula memicu spekulasi terutama kaitannya dengan foto nyeleneh pada surat suara dalam pemilihan DPD RI Dapil Jawa Barat 2024 lalu.

Foto tersebut kemudian ditaburi bumbu bermacam perspektif terutama karena dipandang keluar dari pakem sebagaimana layaknya foto calon senator yang umumnyabermacam  tampil penuh wibawa. Dari mulut Komeng sendiri diketahui kalau awalnya petugas KPU meminta Komeng melampirkan foto dengan kostum sesuai latar belakang budaya yang diwakilinya sebagai anggota DPD yang oleh Komeng justru disodorkan foto yang viral itu.

Benarkah masyarakat memilih Komeng semata-mata karena foto digunakannya atau foto tersebut sebatas mampu membetot perhatian pemilih dan menyadarkan mereka akan kehadiran Komeng diantara tokoh yang mungkin tak mereka kenal?

Saya sendiri menduga karena alasan kedua, kehadiran Komeng yang dibenak pemilih sebagai sosok yang akrab dan lucu di tengah politisi yang hanya mementingkan diri dan kelompoknya dan baru turun gunung menjelang pemilu menjadikan sosok Komeng semacam katarsis sekaligus perlawanan diam masyarakat terhadap para politisi.

Catatan pendek ini tidak bermaksud membahas lebih jauh fenomena Komeng sebagai katarsis atau perlawanan diam publik terhadap politisi dengan membanjiri dukungan di TPS, melainkan mencoba melihat sejauh mana gambar atau foto sebagai medium visualisasi untuk membangun perspsi pemilih dengan tujuan mempengaruhi preferensi pilihan mereka dalam pemilu.

TERKAIT:  GM & Jokowi yang Berubah

Sejauh mana visualisasi gambar mampu membangun imaji publik dan menuntun mereka pada keputusan memilih dengan melihat visualisasi yang ditampilkan para politisi di ruang publik. Dalam kasus Komeng visualisasi gambar jauh lebih mudah dijelaskan karena kelucuan Komeng mengendap lama dalam memori publik sehingga dengan mengaktifkannya lewat foto nyeleneh chemistry yang terbangun lama antara Komeng dengan masyarakat langsung connect. Di sini letak nilai strategis foto nyeleneh tersebut.

Komeng yang pada dirinya memang lucu tak membutuhkan trik khusus untuk membuatnya terlihat lucu yang bahkan dalam balutan pakaian paling formal sekalipun Komeng akan tetap terlihat lucu, bahkan bisa jadi jauh lebih lucu. Foto tersebut hanya menegaskan sikapnya yang lugas dan jujur dan tak ingin memoles diri sebagai calon pejabat dengan berusaha tampil sok berwibawa.

Menampilkan diri dalam visualisasi sesuai karakter sebenarnya bagi tokoh publik sangat penting. John Grant, pakar marketing dan penulis buku, After image; Mind- altering Marketing menyebut hari ini pencitraan tidak bisa lagi dengan basa-basi serta omong kosong dengan memanfaatkan iklan. Kepura-puraan tidak akan mempengaruhi prilaku pemilih.

Politisi yang berusaha tampil dengan bermacam citra dengan memanfatkan media sosial maupun konvensional tidak mudah memanipulasi kesadaran publik di era di mana semua orang memiliki jejak digital yang bisa diakses. Jejak digital dengan mudah menelanjangi karakter mereka yang sebenarnya jika berusaha tampil manipulatif.

TERKAIT:  Struktur Pemenangan Kotak Kosong Beredar, Chaidir Syam: Nikmati Saja Dinamikanya

Dalam situasi seperti ini tidak ada pilihan lain bagi politisi kecuali menampilkan karakter mereka yang genuine. Sialnya, berusaha tampil secara autentik tidak mudah jika faktanya karakter yang bersangkutan pada dasarnya tidak bersesuaian dengan nilai ideal diharapkan. Akibatnya banyak kita temui visualisasi yang nampak konyol karena berseberangan dengan karakter yang bersangkutan.

Bagi politisi yang dengan kemampuan pas-pasan pilihan paling gampang dengan menampilkan karakter mother style. Karakter peduli dan senang berbagi serta suka menolong lebih mudah dihadirkan karena sifat kedermawanan tidak mengharuskan orang memiliki kemampuan leadership. Mereka yang tidak punya visi besar dan tidak cerdas biasanya memiliki logistik besar karena hanya itu modal satu-satunya untuk berkompetisi.

Tengok misalnya berbagai flyer di medsos atau baliho yang dipajang  di berbagai tempat strategis di tengah kota dan sebentar lagi dipastikan akan dipasang dengan mengabaikan estetika. Para politisi seperti berlomba menunjukkan baliho mereka paling banyak, paling besar dengan letak paling strategis. Dengan demikian mereka berharap menuai kekaguman publik sebagai bukti memiliki kelas sosial yang lebih tinggi. Begitu pula visualisasi gambar dengan design yang terkesan mewah dan dipajang di papan iklan berbayar mahal namun tidak mampu menyampaikan pesan apapun sekaligus menghadirkan karakter tokoh yang selaras dengan agenda yang diusungnya.

TERKAIT:  Langkah Kontroversi Menjelang Pemilu, Pj Gubernur Sulsel Didesak Mundur Demonstran

Sayangnya kemampuan mengemas karakter diri yang ideal di ruang publik juga seringkali gagal dihadirkan politisi yang sejatinya berbakat serta memiliki track record yang baik.

Perhatikan misalnya politisi yang mengusung agenda perubahan atau solusi terhadap realitas yang carut marut tapi visualisasi balihonya tampil mulus dengan paduan foto politisi yang tersenyum manis. Padahal idealnya jika mengusung isu perubahan serta solusi, idealnya visualisasi gambar sedikit suram dengan karakter foto politisi yang mengekspresikan keinginan kuat mewujudkan perubahan terhadap kondisi yang ada.

Baliho reformasi Pinrang 2024 di atas meski masih nampak beberapa kekurangan namun terlihat usaha menghadirkan visualisasi sesuai dengan agenda reformasi yang diusungnya. Latar hitam diharapkan mampu menggambarkan kondisi Pinrang hari ini yang masih jauh dari ekspektasi masyarakat dan tidak berada di luar rel reformasi yang merupakan agenda bersama sebagai bangsa. Sementara reformasi dengan tinta merah menunjukkan ketegasan untuk menegakkan reformasi yang merupakan visi utamanya. Dengan tidak meninggalkan identitas pada baliho kelihatannya sang politikus bermaksud memantik rasa penasaran publik.

Seperti kutipan hasil riset di awal tulisan yang menekankan kekuatan visualisasi gambar yang jauh lebih mudah dicerna serta meninggalkan kesan lebih dalam dibanding kekuatan narasi, apalagi sekadar mereplikasi jargon lama. Ada baiknya hal ini dipertimbangkan para politisi dalam menampilkan citra diri di ruang publik.