“Nasi belum matang api sudah dimatikan,”
Metafor di atas terasa lebih pas menggambarkan nasib gagasan perubahan pasca Muhaimin Iskandar atau Cak Imin diputuskan mendampingi Anies Baswedan. Pasca penentuan Cawapres seharusnya agenda perubahan makin digelorakan serta lebih dipertajam agar menukik pada subtansi permasalahan. Bukan sebaliknya kehadiran Cawapres justru membuat isu perubahan meredup dan memicu polemik.
Sosok Anies sebagai Capres yang diusung Koalisi Perubahan sejak awal diasosiasikan sebagai tokoh perubahan versus Prabowo serta Ganjar yang diendorse Jokowi sebagai representasi status quo.
Sulit dipungkiri simbol perubahan yang disematkan pada Anies menjadi magnet berkumpulnya mereka yang kecewa terhadap kinerja rezim. Koalisi Perubahan semacam oase di tengah gurun yang meskipun belum sepenuhnya memuaskan rasa dahaga, setidaknya mampu menyegarkan kerongkongan.
Sayang, ritme perubahan yang terus menggelinding dan berpotensi menjadi bola salju justru dihadang paksa oleh mereka yang mengasuhnya sedari kecil, Paloh dan Anies sendiri.
Bukan tanpa alasan jika Partai Demokrat benar-benar meradang saat mengetahui pilihan jatuh pada Cak Imin. Bagi Demokrat menjatuhkan pilihan pada Anies merupakan pertarungan reputasi sebagai oposisi pemerintah selama dua periode. Pilihan menjadi bagian dari Koalisi Perubahan bagi Demokrat bukan semata atas dasar sikap pragmatis karena berharap posisi Cawapres, melainkan selaras dengan agenda perubahan yang diimpikannya selama beroposisi.
Alasan mendasar ini yang membuat Partai Demokrat tak akan ragu memilih hengkang dari Koalisi Perubahan yang mengusung Duet Anies-Imin.
Dengan menggaet Cak Imim, Paloh dan Anies bukan hanya gagal melipatgandakan kekuatan perubahan bahkan sebaliknya, keduanya membuat api perubahan menjadi redup. Sulit menemukan varibel yang bisa melegitimasi kehadiran Cak Imin berkontribusi positif pada agenda perubahan yang menjadi icon Koalisi Perubahan.
Selama ini Cak Imin lebih dikenal publik sebagai tokoh NU beraliran moderat islam. Debat menyangkut nazab Cak Imin di NU sebagai cucu KH Bisri Syamsuri yang merupakan satu dari tiga pendiri NU yakni Kiai Hasyim, Kiai Wahab dan Kiai Bisri tak diragukan. Cak Imin ini nazabnya setara dengan Yenny Wahid, putri mendiang Gus Dur, yang juga cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari.
Simbol NU yang melekat pada diri Cak Imin hanya berkontribusi terhadap limpahan dukungan sebagian warga Nahdliyin. Sementara suara Demokrat yang andaikan tak memilih hengkang sekalipun juga bukan faktor penentu keunggulan perolehan suara Duet Anies-Imin pada Pilpres 2024.
Kehilangan magnet sebagai simbol perubahan membuat Duet Anies-Imin kehilangan potensi tak terbatas dari mereka yang butuh kanal untuk perubahan. Akibatnya bisa diduga kelak Duet Anies-Imin akan ngos-ngosan mengejar dua pasangan lainnya dalam arena pertarungan yang timpang sebab kehilangan spirit perubahan menghadapi Prabowo serta Ganjar yang berlimpah fasilitas dan logistik.
Kehadiran Cak Imin sebagai Cawapres Anies justru membuat kubu Ganjar serta Prabowo tidak perlu malu-malu mengusung isu perubahan. Kalau Prabowo dan Ganjar diendorse langsung Jokowi, lantas bagaimana menjelaskan kedekatan Cak Imin dengan kekuasaan selama ini. Sikap Cak Imin yang tidak kritis terhadap kekuasaan serta jalannya pemerintahan membuat persepsi publik pada isu perubahan yang diusung duet ini menjadi hambar dan multitafsir. Belum lagi Cak Imin sempat diperiksa KPK sebagai saksi kasus suap Proyek Kementerian PUPR membuatnya kikuk dan tidak leluasa ngomong perubahan.
Komorbid yang diidap Cak Imin ini yang membuatnya harus ekstra hati-hati bersikap agar tak terjangkit virus yang berpotensi mengancam keselamatannya.
Apa yang sedang kita saksikan hari-hari belakangan mengingatkan kita pada, “Waiting for Godot” naskah drama karya Samuel Beckett, betapa absurdnya politik Indonesia.