Membaca opini Dr. Iqbal Latief, Dosen Sosiologi/Kapuslit Opini Publik LP2M Unhas di Harian Tribun Timur hari ini, Senin, 26 Desember 2022 mengenai sikap ksatria yang ditunjukkan Rahmansyah, Ketua Panitia Lomba Tarik Tambang IKA Unhas karena keberaniannya mengakui kesalahan dan siap bertanggung-jawab terkait tewasnya satu peserta lomba.
Pembaca bisa dengan jelas menangkap pesan yang ingin disampaikan Iqbal lewat sosok Rahmansyah sebagai figur yang sebaiknya diteladani para pemimpin yang menurut Iqbal pada kenyataannya justru malah sering mengorbankan anak buahnya. Sampai di sini Rahmansyah masih tampil sebagai sosok ideal.
Namun sosok Rahmansyah terdegradasi ketika oleh Iqbal nama Rahmansyah dikaitkan dengan nilai-nilai luhur yang dianut orang Bugis-Makassar seperti warani, lempu, getteng, siri na pacce di satu sisi sementara di aras sebaliknya nama Rahmansyah diposisikan sebagai Pa’lapa Barambang (Makassar), atau Pallapi’ Aro (Bugis) yang secara harfiah bermakna pelapis dada.
Apa yang dimaksud Pallapi’ Aro dalam konteks budaya bugis lebih menekankan aspek kesediaan mengabdi secara total untuk kepentingan dan keselamatan raja. Itu sebabnya di komunitas berbahasa bugis kita sering mendengar istilah Pallapi’ Aro na Datu’E yang artinya Pelapis Dada Raja yang jika diterjemahkan di masa sekarang bisa berarti tukang pukul.
Problemnya menjadi tidak sederhana bila terma Pallapi’ Aro ini disematkan pada seseorang, Rahmansyah misalnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, Rahmansyah ini Pallapi’ Aro na siapa?
Dalam kasus kealfaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain dalam suatu kegiatan resmi lazimnya tersangka pertama kali adalah ketua panitia. Permohonan maaf yang diikuti pernyataan bersalah mereka yang tersangkut kasus hukum itu jamak bahkan wajib bila ingin memperoleh keringanan hukuman.
Secara budaya permohonan maaf lazimnya diikuti semacam uang duka untuk meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Termasuk misalnya kesiapan menanggung biayai pendidikan anak korban hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Di masyarakat Jepang jika seorang pemimpin melakukan kesalahan yang merugikan orang banyak setelah seluruh kewajibannya terhadap korban dipenuhi selanjutnya sang pemimpin akan menyatakan pengunduran diri karena rasa malu. Tradisi ini berakar jauh dalam sejarah para samurai yang jika kalah dalam pertempuran akan melakukan ritual Seppuku. Sikap para samurai ini yang ditransformasi masyarakat Jepang dalam wujud tradisi mundur jika gagal melaksanakan kewajiban. Inilah sikap ksatria sejati.
Saya tidak mengatakan setiap mereka yang gagal dalam mengelola urusan publik harus menyampaikan pengakuan bersalah secara terbuka lalu mundur dari jabatannya. Melainkan sekedar menyampaikan betapa beratnya konsekuensi penyematan status ksatria di pundak seseorang bahkan untuk sekedar menyebut tindakan seseorang berjiwa kesatria tanpa mengaitkannya dengan konteks yang melatarinya.
Permohonan maaf serta kesiapan bertanggung-jawab ketua panitia tidak bisa dilepaskan dalam konteks peristiwa pidana yang terjadi.
Dalam perkara hukum tradisi saling memaafkan baru bermakna bila dikemas secara formal dalam bentuk kesepakatan damai sebagai syarat penghentian perkara lewat restorative justice di institusi kepolisian dan kejaksaan atau menjadi dasar penetapan hukuman ringan bila kasusnya berlanjut ke pengadilan.
Ketika seseorang mengikuti prosedur tersebut dalam konteks pengurangan hukuman atau penghentian perkara tidak ada sifat ksatria di sana, kecuali permohonan maaf yang bersangkutan diikuti pernyataan mundur sebagai kepala desa misalnya. Apalagi lagi jika pernyataan bersalah justru kesannya ingin memborong kesalahan pihak lain terutama elit maka sikap itu semakin jauh dari sifat ksatria dan lebih mendekati sikap Pallapi’ Aro yang pasang badan membela orang lain yang belum tentu benar.
Hukum pidana kita tidak mengenal pengalihan pertanggungjawaban pidana atau mewakili kesalahan pihak lain. Lagi pula seandainya hal itu dimungkinkan dan pidana yang harus ditanggung para “ksatria” termasuk hukuman mereka yang dibela. Apa betul sang ksatria bersedia dihukum dua atau lima kali lipat tergantung dari jumlah orang yang dibelanya. Saya ragu sang ksatria bersedia pasang badan.
Kalau yang dikategorikan ksatria adalah mereka yang siap menanggung hukuman badan sendiri dan tanpa melibatkan orang lain tapi membebaninya dengan mengupayakan perdamaian itu sih namanya berbagi tanggung-jawab.
Bila sifat ksatria bisa muncul dari tindakan yang berharap pamrih maka hukum positif memberi ruang lewat kesediaan pelaku tindak pidana menjadi Justice Collaborator. Jika Pallapi’ Aro berupaya menjaga privasi atau mengambil alih tanggung-jawab tuannya, sebaliknnya seorang Justice Collaborator justru diapresiasi karena bersikap terbuka serta jujur sehingga atas jasanya penegak hukum berhasil membongkar keterlibatan aktor utama atau elit kekuasaan dalam kasus yang pembuktiannya terbilang rumit.
Seorang Justice Collaborator mendapat perlindungan ekstra dari negara karena keselamatan diri dan keluarganya bisa terancam oleh pihak yang dirugikannya. Sebaliknya Pallapi’ Aro kemungkinan hidupnya aman-aman saja karena justru pasang badan untuk kepentingan pimpinannya atau pihak lain yang dilindunginya.
Penulis: Pegiat FDT (Forum Diskusi Tamalanrea)