Keberhasilan mahasiswa memenangkan pernyataan presiden menyangkut penolakan masa jabatan tiga periode merupakan kemenangan terhadap geng Luhut sekaligus kegagalan bagi mereka yang menghendaki pelengseran Jokowi. Bagi pendukung Jokowi agenda perpanjangan jabatan presiden adalah agenda Luhut dan segelintir elit politik. Selain Golkar, PAN dan PKB, partai lain menolak dikaitkan dengan isu ini.
Pasca demonstrasi mahasiswa sejumlah pertanyaan menggantung, akankah Jokowi menggeser posisi strategis Luhut, lalu siapa yang dipercaya penggantikan perannya?
Jokowi sejak awal terlihat menyukai pembantu yang cekatan serta tanggap menerjemahkan keinginannya seperti Luhut sehingga tak mudah digantikan orang lain. Sikap tidak tegas Jokowi mengenai kampanye tiga periode ini yang diterjemahkan Luhut serta elit politik seperti Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto selama ini sebagai isyarat persetujuan. Para elit pendukung perpanjangan masa jabatan presiden mungkin berharap mendapat jackpot dengan terus memobilisasi dukungan politik untuk Jokowi 3 periode.
Gerakan mahasiswa yang sejak dulu diklaim sebagai gerakan moral tidak persis dengan aksi para koboi yang datang tiap kali terjadi kezaliman dalam masyarakat lalu menghilang ke balik perigi setelah menuntaskan tugasnya. Koboi yang tak berharap imbalan atas jasanya menyelamatkan masyarakat dari para bandit dan hanya muncul tiap kali dibutuhkan. Gerakan mahasiswa yang sukses memperoleh pernyataan presiden mengenai tidak adanya perpanjangan masa jabatan bukanlah para koboi yang hanya bisa bertarung lalu menghilang ke arah perigi. Mahasiswa diminta terlibat membicarakan bahkan mendesakkan agenda reformasi secara total tanpa mereduksinya sebatas menolak agenda perpanjangan masa jabatan presiden sesuai konstitusi.
Problem besar bangsa ini adalah kesenjangan, pengabaian hak minoritas, pelanggaran HAM serta kehancuran lingkungan yang tidak bisa dilepaskan dari paradigma pembangunan yang terlalu berorientasi pertumbuhan yang dianut sejak rezim Suharto hingga Jokowi. Siapa pun presiden pasca Jokowi selama menerapkan mazhab yang sama akan berujung pada dampak yang sama. Isu ini tidak dibicaraķan serius jauh hari sebelum demonstrasi digelar. Akibatnya tuntutan menolak perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tidak seksi dan tidak strategis karena sudah diterima bahkan sebelum demonstrasi digelar. Sebaliknya aksi yang berhasil mencuri perhatian adalah tingkah sejumlah mahasiswi berpenampilan seksi bak selebritis yang ikut demo serta rekan mereka yang membawa pamflet berisi sindiran khas millenial yang blak-blakan dan pas untuk konten sosial media.
Tuntutan mahasiswa yang belum mampu menggeser isu dari hal yang bersifat heroik ke subtansi permasalahan bangsa membuat aksi mahasiswa hari ini lebih mirip parade tinimbang sebuah gerakan sosial yang berorientasi mengembalikan reformasi pada porosnya.
Gerakan mahasiswa 66 yang menolak demokrasi terpimpin di bawah Sukarno berhasil mendudukkan Suharto dengan rezim orde barunya. Terlepas sikap otoritarianisme yang dipraktikkan Suharto sulit disangkal kalau angkatan 66 berhasil menjungkirbalikkan tatanan sosial politik yang berkiblat pada sosialisme ke jalan kapitalisme. Sebagaimana pendahulunya gerakan mahasiswa 98 kembali menjatuhkan rezim Suharto yang otoriter dan korup serta berhasil merumuskan langkah reformasi yang harus diwujudkan rezim reformasi walau akhirnya kembali dikhianati oleh sebagian dari mereka yang memperjuangkannya.
Mengapa gerakan mahasiswa hari ini tak merumuskan langkah kongkrit atau kesepakatan yang harus dijalankan rezim Jokowi, semacam Tritura atau sejenisnya sehingga kelak punya alasan kembali menagih komitmen Jokowi? (rt)