Setelah melalui perseteruan panjang akhirnya Forum Alumni (FA) Unhas pro Mubes Makassar selanjutnya FA akhirnya bisa bernafas lega. JK yang selama ini dipandang sebagai tokoh kunci dalam menentukan lokasi Mubes IKA Unhas akhirnya bersikap dan memastikan Kota Makassar sebagai tempat penyelenggaraan Mubes IKA Unhas yang direncanakan berlangsung pada 4 hingga 5 Maret 2022. Pengusung Mubes Makassar kembali bersemangat setelah sebelumnya nampak mulai kelelahan menunggu kepastian dari JK. Halnya dengan alumni yang selama ini memilih wait and see kini mulai terang-terangan menampakkan diri. Situasi ini sangat menggembirakan mengingat harapan akan besarnya partisipasi alumni makin terbuka lebar.
Sayangnya sikap JK yang sangat terbuka dan mendukung sepenuhnya Makassar sebagai arena penyelenggaran Mubes menyisahkan gumpalan awan tebal. Anjuran JK untuk menyelenggarakan Mubes secara demokratis dengan melibatkan sebanyak mungkin alumni dengan didahului perubahan AD/ART rupanya belum final. Mekanisme pemilihan one man one vote yang diharapkan sebagian besar alumni dikesampingkan JK dengan memilih mekanisme representasi yang dalam istilah JK, “sistem proporsional terbuka yang berkeadilan,” karena alasan teknis.
Akankah pernyataan JK mengenai sistem proporsional terbuka diamini alumni terutama mereka yang selama ini terlibat aktif dalam FA yang mengklaim sebagai representasi alumni di luar jalur formal yang memperjuangkan Mubes diselenggarakan di Makassar?
Pertanyaan ini relevan diajukan mengingat alasan pengajuan Kota Makassar oleh FA sebagai tempat penyelenggaraan Mubes karena mayoritas alumni bermukim di Kota Makassar dan sekitarnya.
Menyangkut rencana pelaksanaan Mubes IKA Unhas pasca kepemimpinan JK selama 25 tahun lebih terdapat dua kubu yang berseteru mengenai lokasi penyelenggaraan Mubes. Kubu yang menyebut diri FA lahir sebagai respon atas keputusan penyelenggaraan Mubeslub IKA Unhas yang memastikan Mubes IKA akan diselenggarakan di Jakarta yang menurut kubu FA inkonstitusional. Selanjutnya perseteruan antara dua kubu kubu kian memanas, FA yang menuntut Mubes diselenggarakan di Kota Makassar berhadap-hadapan dengan alumni yang pro hasil Mubeslub Jakarta yang tetap ngotot Jakarta sebagai tuan rumah. Kedua kubu kemudian saling klaim dukungan JK.
Semenjak JK memutuskan Makassar sebagai tempat penyelenggaraan Mubes beberapa hari lalu suara kubu pro Mubes Jakarta tak lagi kedengaran. Sebaliknya FA kian seksi dan makin diminati alumni.
Melihat besarnya pengaruh JK pada kedua pihak yang berseteru sulit membayangkan para penyelenggara serta pemegang hak suara seperti IKA Fakultas berani bersikap berseberangan dengan JK dan membuka ruang penerapan sistem one man one vote untuk mengakomudir partisipasi alumni secara maksimal. Tingginya tingkat ketaatan sejumlah alumni terhadap JK harus diakui berimplikasi positif pada kemungkinan rendahnya potensi konflik serta tertibnya penyelenggaraan Mubes. Namun semua itu harus dibayar mahal dengan mengamputasi hak partisipasi alumni, hak yang selama 25 tahun lebih dikebiri di periode sebelumnya.
Tindakan mengamputasi hak alumni lewat sistem perwakilan bagi sebagian orang dipandang tidak berpengaruh signifikan terhadap IKA adalah keliru. Mereka lupa tindakan mengebiri hak alumni akan menggerus kepercayaan terhadap IKA. Permasalahan akan semakin krusial jika kekecewaan alumni terhadap IKA ikut menginfeksi kecintaan mereka terhadap Unhas yang justru sedang membutuhkan seluruh partisipasi alumni agar bisa tetap eksis di bawah rezim PTN BH.
Penting untuk mengingatkan kita semua terutama alumni yang kelak terlibat aktif merumuskan AD/ART IKA untuk betul-betul serius merumuskan hak partisipasi alumni.
Ketaatan berlebihan pada sosok JK bisa membuat perdebatan seputar isu Mubes menjadi tidak sehat dan sarat fallacy. Penentuan sistem pemilihan seharusnya diawali debat tajam di mana argumen terbaik dengan landasan rasional yang seharusnya menjadi pijakan pengambilan keputusan bukan ditentukan otoritas yang berdiri dibalik argumen tersebut. Dengan kata lain jangan sampai kita terjebak pada sikap feodalisme di mana otoritas mendahului keputusan. Sikap yang selama puluhan tahun membuat IKA Unhas kehilangan daya kreatif dan sensitivitasnya.
Sistem perwakilan tentu saja dimungkinkan dalam demokrasi namun wakil alumni tidak bisa direduksi sebatas perwakilan karena jabatan akademik dalam lingkup fakultas. Terlalu naif rasanya kami para perambah hutan diwakili kaum cerdik cendikia dengan gelar berlapis-lapis. Kami tidak yakin mereka memahami betapa sulitnya menjadi pengangguran dengan pandangan sinis masyarakat terhadap gelar kesarjanaan yang membebani pundak kami.
Di mana IKA selama puluhan tahun ketika kami para alumni butuh dukungan atau sekedar kebanggaan sebagai alumni universitas dengan segudang prestasi?
Di era disrupsi teknologi digital yang melahirkan berbagai inovasi teknologi membuat pekerjaan manusia menjadi lebih mudah dan efisien. Di era digital 4.0 sulit membayangkan organisasi alumni sekelas IKA Unhas kesulitan mengakomodir partisipasi alumninya untuk sekedar menyampaikan pesan kalau setiap alumni memiliki hak suara dalam menentukan masa depan IKA.
Sekalipun keseharian kami sebagian alumni bermukim jauh di pelosok, saban hari terpanggang matahari toh kami bagian dari umat manusia yang tersambung teknologi informasi selama 24 jam penuh.
Lalu apa yang dimaksud, “karena alasan teknis kita memilih sistem proporsional terbuka yang berkeadilan”.
Berkeadilan untuk siapa?