Pelimpahan berkas perkara dua tersangka kasus dugaan pemalsuan sertifikat atau penggunaan sertifikat palsu Eks Kebun Binatang Makassar oleh Penyidik Polda Sulsel ke Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dilakukan sekitar tiga hari lalu. Menanggapi hal tersebut, 14 Juli 2022 kemarin, penasihat hukum kedua tersangka mengajukan permohonan perlindungan hukum yang intinya meminta Kajati Sulsel menelaah dengan sungguh-sungguh berkas Berita Acara Penyidikan (BAP) terkait dasar penetapan tersangka kedua kliennya.
Arfan Ridwan, S.H. salah seorang PH tersangka menjelaskan: “Melalui surat permohonan perlindungan hukum ini PH bermaksud menyampaikan informasi langsung pada Kajati Sulsel sebagai masukan atau pertimbangan dalam menelaah berkas penyidikan yang berujung pada penyematan status tersangka terhadap kliennya”.
Menurut Arfan Ridwan: “Terkait penetapan tersangka EY dan AS publik ikut penasaran karena bagaimana bisa pemegang kuasa mengurus serta pengecekan sertifikat terbitan 1984 ke Badan Pertanahan justru ditersangkakan sebagai pengguna sertifikat palsu. Apa lagi bila tuduhan terhadap tersangka EY menyangkut pemalsuan sertifikat yang ketika diterbitkan di Tahun 1984 EY belum menerima kuasa dari ahli waris pemilik sertifikat bahkan masih berusia belasan tahun”.
Sejumlah pertanyaan yang menggantung di benak publik ini yang seharusnya dijelaskan penyidik saat melakukan konferensi pers mengenai dugaan pemalsuan sertifikat ini dengan label mafia tanah. Sebagai bentuk pertanggungjawaban ke publik atas stigma mafia tanah yang dilekatkan terhadap tersangka penyidik seharusnya menjelaskan modus yang digunakan tersangka dalam proses pemalsuan tersebut sehingga bisa dikategorikan sebagai mafia tanah.
Sayangnya hingga saat ini tidak ada penjelasan resmi penyidik alasan menyematan stigma mafia tanah terhadap kedua tersangka. Bahkan untuk sekedar membuktikan unsur pasal pemalsuan atau menggunakan sertifikat palsu juga tidak dijelaskan secara detail. Padahal konsekuensi logis dilemparnya kasus dugaan pemalsuan serta isu mafia tanah ke publik adalah hak publik untuk mengetahui kriteria mafia tanah versi penyidik untuk menghindari kemungkinan kesalahan penggunaan istilah yang mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Satu-satunya penjelasan yang bisa diakses publik adalah pernyataan yang menyebutkan bahwa hasil penelusuran di BPN Sertifikat 2412 tidak ditemukan sehingga diduga palsu. Penjelasan ini sama sekali tidak memiliki kaitan signifikan dengan delik pemalsuan atau menggunakan sertifikat palsu. SHM sebagai alat bukti kepemilikan tanah atau bangunan menempati hierarki tertinggi sehingga harus dianggap otentik atau asli selama belum terbukti sebaliknya lewat putusan pengadilan.
Penjelasan mengenai tidak ditemukannya dokumen menyangkut SHM 2412 atas nama M. Said ini setelah ditemukan penelusuran tidak berarti SHM 2412 palsu melainkan kemungkinan disebabkan terutama karena ketidakprofesionalan Badan Pertanahan menjaga arsip negara agar tetap awet dan terjaga. Saat SHM 2412 diterbitkan tahun 1984 oleh Direktorat Agraria di bawah Kementerian Dalam Negeri BPN belum dikenal karena baru resmi hadir berdasarkan SK Presiden No. 26/1988.
Meminjam penjelasan Ibrahim Anwar mengenai kewajiban merawat dan menjaga arsip tanah ini: “Bukan merupakan kewajiban warga atau pemilik SHM 2412 untuk menjaga arsip tanah miliknya melainkan tanggung-jawab BPN atau institusi yang dibebani kewenangan oleh negara”.
Dalam permohonan perlindungan hukum tersebut PH menjelaskan muasal permasalahan yang berujung penetapan tersangka EY dan AS. Bermula ketika AS, ahli waris M. Said meminta tolong pada EY untuk mengurus tanah miliknya yang terletak di jln. Urip Sumoharjo Makassar atau yang lebih dikenal sebagai eks lahan Kebun Binatang seluas 5,9 hektar dengan No. Sertifikat 2412 atas nama M. Said. Ketika itu AS sangat berharap bantuan EY karena untuk mengurus tanah orang tuanya karena berbagai keterbatasan baik secara fisik karena usia serta sering sakit-sakitan, pengetahuan mengenai seluk beluk urusan pertanahan yang minim maupun keterbatasan finansial. Atas pertimbangan kemanusiaan EY memutuskan membantu ahli waris M. Said tersebut.
Berbekal surat kuasa mengurus dari AS, ahli waris M. Said, EY mengajukan permohonan pengecekan Sertifikat 2412 untuk mengetahui status atau otentisitas sertifikat tersebut ke BPN baik dilakukan sendiri maupun melalui jasa notaris. Semua upaya yang dilakukan EY tidak pernah memperoleh respon positif atau jawaban resmi dari BPN. Bahkan Menurut EY dirinya menerima jawaban menyakitkan seperti, “Dari mana ibu EY dapat sertifikat itu,” kata pegawai BPN. Atau, “ibu EY gunting-gunting saja sertifikat itu tidak ada gunanya, “kata Kepala Kantor BPN yang menjabat saat itu.
Ibrahim Anwar dari Lembaga Aliansi Indonesia yang mengikuti berbagai konflik pertanahan di Makasaar dan intens mengikuti perkembangan kasus Eks Kebun Binatang ini menjelaskan: “Sertifikat No. 2412 atas nama M. Said dengan luas 5,9 hektar yang terbit Tahun 1984 berlokasi di eks lahan Kebun Binatang berasal dari tanah negara eks eigendom verponding yang diterbitkan oleh Direktorat Agraria di bawah Kementerian Dalam Negeri karena BPN baru berdiri berdasarkan SK Presiden No. 26/1988. Berdasarkan penjelasan UUPA Tahun 1960 Pasal 19: “Bahwa untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dalam kepemilikan tanahnya dibuka pendaftaran di seluruh Indonesia”.
Sebagai warga negara yang baik M. Said telah menunjukkan kepatuhannya terhadap undang-undang dengan cara mendaftarkan tanah tersebut dengan No. Pendaftaran 21559. Jadi proses penerbitan Sertifikat 2412 sesuai dengan peraturan perundang-undangan bahkan M. Said termasuk warga negara yang baik dan taat hukum karena mendaftarkan tanahnya sesuai perintah undang-undang yakni UUPA Agraria Tahun 1960 yang hingga saat ini masih berlaku.
Sebaliknya justru yang wajib dipertanyakan oleh aparat penegak hukum adalah proses penerbitan tiga (3) Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT Phinisi Inti Property yang diterbitkan BPN pada Tahun 2013 dan 2014 di atas Sertifikat SHM Tahun 1984 milik M. Said.
Pada kasus dugaan pemalsuan atau penggunaan seritifikat palsu yang mengaitkan nama korporasi besar ini sikap profesional aparat penegak hukum kembali diuji.