Pidana Mati, Kekerasan Seksual & Doktrin Kepatuhan

Pidana Mati, Kekerasan Seksual

Herry Wirawan pelaku tindak pidana pencabulan dan persetubuhan terhadap puluhan santriwati Pesantren Madani Boarding School oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dituntut hukuman mati plus hukuman tambahan berupa kebiri kimia serta denda 500 juta subsider 1 tahun kurungan dengan identitas disebar luas ke publik. Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memungkinkan diterapkannya hukuman mati terhadap pelaku pencabulan atau persetubuhan dengan anak di mana pada aturan sebelumnya diancam dengan pidana maksimal 15 tahun dan minimal 5 tahun penjara.

Mengapa JPU masih menuntut hukuman tambahan serta denda pada Herry padahal sudah dituntut hukuman mati. Apakah JPU ragu majelis hakim akan menolak menjatuhkan hukuman mati pada terdakwa?

Meski dimungkinkan penerapan hukuman mati dalam kasus pencabulan terhadap anak dengan syarat korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun namun Perppu yang menjadi dasar legitimasinya dipandang keropos. Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditengarai lahir prematur karena tidak memenuhi unsur “kegentingan yang memaksa” yang dalam tafsir MK salah satu tujuannya untuk mengisi kekosongan hukum karena belum diatur dalam undang-undang.

Saya kira JPU bukan tidak memahami kontroversi landasan yuridis hukuman mati pelaku pencabulan terhadap anak berdasarkan Perppu 1/2016. Bagi institusi kejaksaan kasus ini menjadi momentum untuk menunjukkan empati terhadap korban sekaligus mengapresiasi tuntutan publik untuk menghukum berat pelaku. Soal tekanan publik ini tidak tanggung-tanggung dukungan terhadap penegak hukum datang dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang berharap majelis hakim mengabulkan tuntutan JPU menghukum mati terdakwa.

TERKAIT:  Pengetahuan Senyap, Tak Berjejak?

Wacana penghapusan hukuman mati di banyak negara semakin memperoleh dukungan publik internasional. Hukuman mati bahkan telah dihapuskan oleh sedikitnya 3/4 dari jumlah seluruh negara di dunia. Komnas HAM sendiri secara terbuka menolak penerapan hukuman mati dalam kasus Herry. Pada saat yang sama kebiri kimia sebagai hukuman tambahan sulit dieksekusi karena IDI menolak sebagai eksekutor. Kebiri kimia sebagai pelaksanaan hukuman bagi IDI bukan bagian dari pelayanan medis sehingga dinilai bertentangan dengan kode etik kedokteran.

Sanksi berat disertai pidana tambahan diharapkan mampu melindungi serta mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dianggap tidak efektif. Sejumlah riset menunjukkan tidak adanya korelasi signifikan antara beratnya ancaman sanksi yang disertai pidana denda dan pidana tambahan berupa kebiri bagi pelaku kejahatan seksual dengan timbulnya efek jera. Data dari World Rape Statistic atau statistik dunia tentang perkosaan di berbagai negara di dunia menunjukkan hukuman mati maupun kebiri tidak efektif melahirkan deterrent effect terhadap pelaku pemerkosaan.

Meskipun demikian tuntutan pidana mati serta pidana tambahan berupa kebiri kimia terhadap Herry Wirawan nampaknya mampu membuat citra kejaksaan sedikit berkilau. Namun pendekatan yuridis formal tidak mampu membawa kita memahami penyebab mengapa kekerasan seksual yang korbannya mencapai 21 anak bisa berlangsung selama lima tahun. Sekalipun sudah dilaporkan salah satu orang tua santri di Polda Jabar sejak bulan Mei 2021 dan istri Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat mengaku sudah mengetahui kasus tersebut sejak bulan Mei faktanya kasus tersebut baru terbongkar ke publik di bulan Desember 2021.

TERKAIT:  Prematur

Bisa dibayangkan bila MUI Jawa Barat ikut menghimbau agar kasus ini tidak diungkap karena merupakan aib. Fakta ini menunjukkan upaya menutup akses publik terhadap kasus yang dipandang berpotensi merusak nama baik pesantren serta islam itu sendiri.

Masyarakat pada umumnya berpandangan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana dan kapan saja serta tidak memiliki korelasi dengan latar belakang kesadaran keagamaan atau budaya dengan pelaku maupun korban. Dengan kata lain kekerasan seksual diyakini akibat penyimpangan seksual pelaku yang dalam psikologi disebut parafilia, jenis penyimpangan seksual yang timbul akibat gairah seksual yang muncul karena stimulus tak lazim.

Sayangnya pendekatan ini tidak cukup memadai untuk menjelaskan kekerasan seksual terutama dengan jumlah korban fantastis yang diserta sikap bungkam korban dan masyarakat.

Kekerasan seksual seperti ini hanya bisa terjadi jika terdapat ketimpangan relasi antara pelaku dan korban. Ketidaksetaraan dapat berupa perbedaan status antara pimpinan dengan bawahan, murid dan guru atau perbedaan pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh pelaku dan korban. Pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan ustadz terhadap santri-nya ketimpangannya makin rumit dan berlapis-lapis. Selain sebagai pimpinan pondok pelaku juga adalah ustadz yang dalam doktrin tradisional merupakan sosok agung yang harus dipatuhi santri.

Kepatuhan yang berlandaskan doktrin suci ini berkelindang dengan patriarki yang menuntut santriwati harus bisa menekan keberatan atau penolakannya terhadap tindakan ustadz karena doktrin atau tafsir keagamaan dan kebudayaan. Faktor ini yang berkontribusi luar biasa menyebabkan kejahatan pelaku tidak terungkap dalam waktu lama.

Dalam iklim pendidikan emansipatoris ustadz atau guru tidak ditempatkan sebagai mahluk agung sehingga bisa didebat oleh siswanya jika terjadi perbedaan pendapat mengenai materi pelajaran. Bahkan terbuka kemungkinan guru dilaporkan sebagai pelaku pelecehan bila terbukti bertindak asusila. Sebaliknya dalam sistem pendidikan yang menempatkan guru atau ustadz sebagai sosok agung yang harus dipatuhi berdasarkan kesadaran yang ditanam lewat doktrin keagamaan akan membuat anak atau santri memilih diam sekalipun mengalami tindakan tidak menyenangkan maupun kekerasan. Apalagi jika kekerasan tersebut berlangsung di wilayah suci semisal pondok tahfiz atau institusi keagamaan lainnya.

TERKAIT:  Kemarahan Johnson: Qua Vadis Organisasi Advokat?

Doktrin kepatuhan yang berkelindan dengan budaya patriarki ini yang menuntut anak perempuan harus bisa meredam kemarahan, memiliki rasa malu yang tinggi dan harus pula menutupinya dari jangkauan publik jika mengalami perlakuan kekerasan. Bayangkan jika benar MUI sendiri meminta kasus ini tidak dibuka ke publik karena alasan aib, artinya MUI menganggap membuka kasus ini ke publik sama dengan dosa karena menyebarkan aib. Bisa dibayangkan pula jika doktrin semacam ini yang ditanam dalam kesadaran santri sehingga anak-anak kita menutup rapat-rapat kekerasan yang dialaminya karena takut berdosa akibat mengungkap aib dan mempermalukan diri, keluarga dan agama. Akibatnya anak menjadi sangat rentang mengalami kekerasan seksual dan institusi yang mengajarkan doktrin kepatuhan mutlak terhadap guru seperti institusi pendidikan agama yang paling potensial sebagai tempat berlangsungnya kekerasan seksual tersebut.

Dengan membenahi metode pembelajaran yang bersifat doktrinal menjadi emansipatoris berarti membebaskan proses pembelajaran dari berbagai kungkungan dogma diharapkan akan menumbuhkan sikap kritis siswa. Sikap kritis ini yang akan menjadi benteng bagi siswa dari kemungkinan tindakan amoral guru atau ustadz.

Dengan model pendidikan emansipatoris diharapkan tidak akan ada lagi prilaku kekerasan seksual seperti yang dilakukan Herry Wirawan. Ke arah sana sistem pendidikan kita harusnya bermuara.