Rekomendasi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan serta Komnas HAM menyangkut dugaan kekerasan seksual yang dialami Putri Candrawathi diprotes banyak pihak karena dianggap tidak masuk akal. Sementara aktivis perempuan tidak melihat relasi kuasa sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Dua alasan ini yang membuat Komnas Perempuan maupun Komnas HAM menjadi bulan-bulanan publik karena dianggap tidak profesional dalam menjalankan tugas.
Merujuk pada fakta yang terungkap ke publik umumnya aktivis perempuan tidak melihat relasi kuasa yang memungkinkan terduga pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap korban. Tidak totalnya aktivis perempuan terlibat mengadvokasi serta melakukan pengawalan terhadap Putri bisa jadi disebabkan karena faktor ini. Guru Besar Universitas Indonesia (UI)/ Pengajar Gender dan Hukum Prof. Sulistyowati Irianto termasuk yang tidak yakin terjadi kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi karena menurutnya yang terjadi justru sebaliknya. Terdapat hierarki yang begitu kuat dalam kepolisian atau kemiliteran, sehingga tidak mungkin Putri Candrawathi yang seorang istri jenderal dilecehkan ajudan pribadinya. Sulit membayangkan terduga pelaku kekerasan memanjat hierarki yang demikian tinggi.
Irma Hutabarat, Ketua Komunitas Civil Society Indonesian yang belakangan mendampingi keluarga Brigadir Joshua yakin tidak mungkin terjadi kekerasan seksual terhadap Putri yang oleh Brigadir Joshua dianggapnya sebagai ibu di rumah Sambo.
“Tidak masuk akal, baik dari sisi relasi kuasa maupun karakter Yoshua yang kerap dilupakan,” kata Irma dikutip dari Kompas.com, Minggu (4/9/2022).
Komnas Perempuan sendiri dalam pernyataan resminya mengenai dugaan terjadinya kekerasan seksual lebih mengedepankan aspek yuridis seperti adanya tiga saksi yang membenarkan kejadian tersebut serta persesuaian dengan saksi lain yakni kekasih Brigadir Joshua berikut hasil assessment psikologi yang menunjukkan Putri mengalami trauma. Komnas sepertinya menghindari debat mengenai dugaa penyebab kekerasan seksual akibat relasi kuasa yang timpang antara terduga pelaku dengan korban.
Kalau sedikit mau bersabar mencermati penjelasan resmi Komnas, publik akan memperoleh gambaran singkat mengenai dugaan kekerasan seksual berbasis gender yang dialami Putri. Selain menjelaskan aspek pembuktian secara yuridis Komnas Perempuan dalam konferensi pers-nya menjelaskan, tepatnya membantah mereka yang tidak melihat relasi kuasa yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual yang menempatkan Putri sebagai korban.
Keengganan pelapor untuk melaporkan kasusnya dari awal karena perasaan malu, menyalahkan diri sendiri, takut pada ancaman pelaku dan dampak yang kemungkinan mempengaruhi seluruh kehidupannya serta posisinya sebagai istri petinggi kepolisian yang memiliki anak perempuan hingga menunjukkan keinginan melakukan bunuh diri berulang kali bagi Komnas merupakan bukti beroperasinya relasi kuasa yang rumit. Oleh karena itu menurut Komnas, “kita perlu memikirkan ulang bahwa relasi kuasa antara atasan dan bawahan saja tidak cukup untuk serta merta menghilangkan kemungkinan terjadinya kekerasan karena relasi korban kekuasaan itu sangat kompleks dan dapat dipengaruhi oleh konstruksi gender, istilah maupun kekuasaan lainnya”.
Di tengah perdebatan menyangkut relasi kuasa dalam dugaan kekerasan seksual yang dialami Putri sebuah artikel menarik ditulis Julia Suryakusuma di Jakarta Post, Rabu, 31 Agustus 2022 dengan judul, “Putri Candrawathi: Look for the woman!” yang dibagikan di beranda Facebook-nya tiga hari lalu penting dipertimbangkan.
Dalam artikel tersebut terdapat kesamaan sudut pandang antara Julia Suryakusuma dengan Komnas Perempuan yang menempatkan Putri sebagai korban dalam perspektif gender. Julia nampaknya menghindari spekulasi mengenai dugaan kekerasan seksual terhadap putri yang disebutnya sebagai urusan penyidik dan memilih fokus pada posisi Putri sebagai korban skenario yang dioperasikan laki-laki yang memanfaatkan idiologi ibuisme yang dianut Putri. Julia membedah masalah tersebut dengan terlebih dahulu mengamati biografi Putri serta berbagai fakta yang disodorkan media termasuk hasil penilaian LPSK.
Begini penjelasan Julia Suryakusuma mengenai latar belakang kehidupan Putri Candrawathi.
” Pertama, sedikit biografi tentang Putri: Dia orang Bali, putri pensiunan perwira militer, sekolah menengah pertama di Makassar, tempat dia bertemu dengan calon suaminya. Keduanya lulus pada tahun 1988. Dia kuliah sebagai dokter gigi dan praktek untuk beberapa saat setelah lulus, tetapi berhenti untuk sepenuhnya ikut suami. Saat suaminya menjabat Kapolres Brebes, Jawa Tengah pada 2014, Putri mendirikan TK. Dia saat ini berusia 49 tahun dan memiliki empat anak, berusia 21, 17, 15 dan anak angkat berusia 1,5 tahun. Profil yang cukup konvensional, bukan?
Sebagai putri seorang militer, kemudian istri perwira polisi, ideologi ibuisme negara cukup merasuk di dalam dirinya, menjadi istri yang patuh dan setia – intinya, pelengkap dan pengikut suami. Ibuisme negara adalah istilah yang saya ciptakan dalam tesis saya tahun 1988 untuk ideologi gender yang dianut oleh negara militeristik Orde Baru yang otoriter (1966-1998), yang mendefinisikan perempuan sebagai istri dan ibu. Ideologi ini terdapat di dalam Dharma Wanita, organisasi istri PNS, tetapi juga dalam Dharma Pertiwi, organisasi istri militer dan Bhayangkari, organisasi istri polisi. Putri tampaknya personifikasi istri Bhayangkari “.
Pesan yang disampaikan Julia dalam tulisannya dibangun di atas argumen yang cukup kokoh. Dengan memaparkan sejumlah fakta seperti pernyataan Susilaningtias, Wakil Ketua LPSK mengenai hasil assessment menunjukkan bahwa kondisi dan situasi Putri sama sekali tidak mencerminkan kondisi psikis yang sedang terancam. “LPSK berpendapat tidak ada ancaman yang dihadapi oleh pemohon dalam kasus yang dilaporkan,” demikian kata Julia.
Mengutip assessment LPSK yang berbeda pandangan dengan rekomendasi Komnas mengenai dugaan kekerasan seksual yang dialami Putri, Julia menghindari membenturkan perbedaan sudut pandang dua lembaga tersebut melainkan ingin menunjukkan benang merah antara keduanya yang melihat Putri sebagai korban skenario pihak lain. Alasan LPSK menolak permohonan perlindungan Putri karena menduga pengajuan tersebut akibat desakan pihak lain.
Dengan memanfaatkan karakter Putri sebagai penganut idiologi ibuisme negara yang mendarah daging serta dukungan media yang lapar informasi keberadaan Putri sebagai perempuan penurut dimanfaatkan tanpa yang bersangkutan sadari.
Apa pun motif sesungguhnya dibalik kematian Brigadir Joshua Hutabarat bagi Julia Suryakusuma, Putri Candrawathi hanya korban yang seharusnya dilindungi, bukan sebaliknya dijadikan tersangka.