Ramadhan, Tradisi Karitatif & Absennya Kaum Milenial

Tiap ramadhan tiba yang terlintas dibenak setiap umat islam adalah momentum terbaik mendulang pahala sekaligus memohon maghfirah Allah SWT. Bagaimana tidak di bulan penuh berkah ini setiap amalan baik manusia dilipatgandakan. Bahkan ada satu malam di bulan ramadhan dimana nilainya lebih mulia dibanding seribu bulan. Jadi tidak heran jika ikhtiar dimaksimalkan dalam perlombaan demi memenangkan kemuliaan bulan ramdhan yang hanya datang sekali dalam setahun.

Sejumlah aktivitas khas ramadhan di luar ritual shalat bertransformasi seiring kemajuan teknologi informasi semisal ajakan berzakat, infaq maupun sadaqah di kalangan umat terus meningkat dari ramadhan ke ramdhan dengan metode yang lebih kreatif. Jejaring yang berserakan bisa dengan mudah dirangkai dan ditenun lewat aplikasi gratis yang disediakan platform media sosial seperti whatsApp. Era disrupsi betul-betul dirasakan sebagai keajaiban yang mempermudah aktivitas manusia, sesuatu di masa sebelumnya dipandang mustahil.

Sehabis shalat subuh pagi tadi misalnya sebuah ajakan berderma muncul di salah satu grup whatsApp yang saya ikuti. Hal sejenis sebenarnya juga ditawarkan di WAG saya yang lain. Entah mengapa saya merasa ajakan berderma kali ini memantik keinginan mencatatnya.

Dibalik kemudahan yang disiapkan aplikasi media sosial serta tingkat kreativitas para penggagasnya termasuk sistem pertanggungjawaban yang sederhana, cepat dan transparan jika diperhatiakan ada yang tak berubah dari pola kita berderma dari tahun ke tahun yakni tujuan berderma itu sendiri yang tak beranjak dari sifatnya yang karitatif. Jika tak yakin coba tengok kalau tak bagi-bagi Sembako mereka berbagi penganan buka puasa yang manfaat serta pahalanya bisa dipanen seketika.

Tentu saja tidak ada yang keliru dengan tujuan ini hanya saja jika semua orang di momentum ramadhan melakukan hal yang sama, apa tidak sebaiknya ada yang berupaya menggesernya ke tujuan jangka panjang namun pada saat ramadhan pahalanya tetap bisa dituai. Dengan memilih berderma di bidang yang tidak kalah mendesaknya meskipun seringkali tidak disadari semisal mendorong peningkatan kemampuan bahasa asing (Inggris, Arab, Mandarin, dst) bagi generasi milenial sebagai bekal menghadapi dunia kerja yang makin kompetitif di masa depan atau kebutuhan jangka panjang lainnya yang pahalanya tidak hanya dipanen di bulan ramadhan tapi terus mengalir sepanjang masa bahkan setelah yang bersangkutan meninggal dunia (amal jariyah)

TERKAIT:  Rocky Gerung dan Sufisme di Mata Bachrianto Bachtiar

Menarik misalnya mengamati aktivitas filantropi yang bersifat transformatif yang digagas komunitas pegawai Badan Penyelenggara Keuangan Pemerintah Daerah (BPKPD) Kab. Soppeng yang dengan brilian memanfaatkan potensi kedermawanan pimpinan serta staf yang disalurkan untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara menyiapkan fasilitas beasiswa terbatas buat kalangan tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan yang dikemas dengan jargon, “GERAK SEPEKAN” yang merupakan akronim “Gerakan Sedekah Pendidikan” dengan obsesi jangka panjang untuk menghadirkan satu sarjana dalam setiap keluarga miskin. Gerakan ini menurut Kepala BPKPD Kab. Soppeng, Dipa Naharuddin mendapat apresiasi serta sokongan moral dari Bupati Soppeng H. Andi Kaswadi Razak, SE.

Rahasia sukses gerakan filantropi tidak terletak pada jumlah donasi yang bisa dikumpul pada starting awal melainkan pada bagaimana menjaga serta mendorong kecintaan publik terhadap aktivitas filantropi sehingga konsistensinya bisa terjaga dan terus membesar. Jauh lebih sulit meminta seseorang berderma belasan ribu setiap bulannya secara rutin sepanjang masa tinimbang merayu donatur berdonasi jutaan rupiah untuk sekali waktu.

Sebagai gambaran potensi filantropi di kalangan umat islam Indonesia, saya comot data lama di internet mengenai studi PBB yang mencatat potensi dana umat dari sektor zakat, infak dan sedekah yang mungkin digali mencapai 19.3 triliun rupiah per tahun. Angka ini diperoleh dari rata-rata sumbangan keluarga muslim per tahun sebesar 409.267 rupiah dalam bentuk tunai (cash) dan 148.200 rupiah dalam bentuk barang (in kind). Jika jumlah rata-rata sum-bangan ini dikalikan dengan jumlah keluarga muslim di Indonesia sebesar 34,5 juta (data BPS tahun 2000), maka total dana yang dapat dikumpulkan mencapai 14,2 triliun. Sementara total sumbangan dalam bentuk barang sebesar 5,1 triliun rupiah.

TERKAIT:  Eksis di Tengah Kerasnya Kompetisi

Memandang filantropi sebatas tindakan karitatif akan mengabaikan aspek penting dari upaya mendorong transformasi sosial lewat partisipasi langsung masyarakat. Begitu halnya dengan meletakkan filantropi sebatas aktivitas charity tahunan berpotensi mengabaikan aspek mendasar dalam menumbuhkan tradisi filantropi yang dibangun di atas kesadaran mengenai betapa pentingnya prilaku berderma merupakan bagian dari keseharian seorang muslim.

Pada dasarnya setiap orang memiliki sudut pandang atau kepedulian berbeda terhadap suatu isu sehingga aktivitas fundraising dituntut memahami karakteristik penderma. Itu sebabnya pengelola dana publik untuk disalurkan ke masyarakat konsen pada isu tertentu. Ada yang fokus pada isu human trafficking, kemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan, isu tingginya angka kematian ibu dan anak, isu pengrusakan lingkungan hingga lembaga yang mengkhususkan diri  pada advokasi kebijakan publik dan seterusnya. Keragaman pilihan ini berkorelasi signifikan terhadap komitmen serta konsistensi seseorang dalam berdonasi. Hal ini penting dipahami untuk bisa menjaga daya tahan serta rasa nyaman para penderma karena donasinya mengalir ke tempat yang diinginkannya.

Pada skala yang lebih kecil seperti dalam lingkup komunitas WAG dibutuhkan strategi untuk menjaga kontinuitas serta komitmen penderma sekalipun berasal dari komunitas yang dibangun atas ikatan kealumnian atau diikat oleh solidaritas etnis tertentu. Pelibatan penderma pada komunitas yang lebih kecil dalam pengambilan keputusan menjadi niscaya bila berharap konsistensi mereka dalam berdonasi. Pentingnya melibatkan setiap anggota komunitas dalam merumuskan isu mana yang dipilih berikut basis argumentasi yang menopangnya. Kecuali memang aktivitas filantropi yang digagas sekedar aktivitas charity yang bersifat karitatif untuk kepentingan selama bulan ramadhan setiap tahunnya tentu tidak dibutuhkan diskusi mendalam.

Aspek yang tidak kalah penting diperhatikan adalah pelibatan generasi milenial dalam aktivitas filantropi dalam arti bukan sekedar pelaksana teknis di lapangan melainkan sebagai aktor utama. Harus diakui generasi milenial lebih energik, lebih melek teknologi serta memiliki akses informasi yang lebih baik dibanding generasi sebelumnya.

Berharap filantropi bertransformasi menjadi bagian dari life style generasi milenial tanpa  mendorong mereka ke atas pentas bakal jauh panggang dari api. Baznas dan LAZ, dua lembaga yang dipandang memenuhi standar profesional dalam mengelola donasi kaum muslimin belum merumuskan strategi khusus untuk menjangkau kaum muslim milenial.

TERKAIT:  Ke Pengadilan, Rempang Makin Rempong

Sebaliknya masyarakat Eropa dan Amerika sejak lama menjadikan filantropi bagian dari life style.

Sejak dini orang tua dan lingkungan memperkenalkan serta mensupport aktivitas filantropi pada anak-anak mereka. Ingat Tijn Kolsteren, bocah 6 tahun asal Belanda yang menderita kanker otak yang sulit disembuhkan. Dalam kondisi sakit parah Tijn merasa iba dengan anak seusianya yang menderita penyakit yang sama namun tidak mempunyai uang untuk berobat. Tijn lantas menawarkan mengecat kuku orang-orang dengan warna mencolok sambil berderma. Jika kelak dana terkumpul, Tijn berharap bisa membantu pencegahan kematian anak-anak akibat kanker otak. Semesta merespon, seminggu sebelum ulang tahunnya yang ke-7, Tijn berhasil mengumpul dana lebih dari € 9 juta (146, 7 M) Sesuai pesannya, semua uang disumbangkan kepada anak-anak penderita kanker otak yang tidak mampu di seluruh dunia melalui Semmy Foundation.

Tijn bukan mesias yang dikirim Tuhan untuk menuntun umat manusia. Tunas muda ini tumbuh dari iklim yang kondusif dengan wadah yang persiapkan dengan baik. Masyarakat di barat terbiasa menyisihkan sebagian kecil dari gajinya setiap bulan untuk meringankan penderitaan sesama. Tradisi ini yang melahirkan lembaga filantropi dunia yang sangat dihormati.

Di era 70-an, aktivitas NGO serta para misionaris asing marak di Indonesia berkat sokongan logistik dari aktivitas filantropi yang menggeliat di eropa. Belakangan muncul sejumlah lembaga filantropi yang digawangi anak-anak muda. Sebut saja diantaranya Yayasan Tifa dan Dompet Dhu’afa. Dua lembaga ini dikelola secara profesional dan diperlakukan bak life style, tidak kalah milenialnya dengan perusahaan startup yang lagi booming akhir-akhir ini. Bila sempat intip sesekali aktivitas anak-anak muda lewat Website Yayasan Tifa Indonesia, ada kemungkinan anda menemukan kejutan di sana.

Foto: Dicomot dari google