Ranperda Perlindungan Guru, Logic Fallacy Legislator Kota Makassar

DPRD Makassar

Beberapa waktu lalu saya membaca berita salah satu media online dengan judul, “Kekerasan Terhadap Guru Marak Terjadi, DPRD Kota Makassar Siapkan Ranperda Perlindungan Bagi Guru”. Saya belum membaca Ranperda dimaksud, termasuk tidak mengetahui persis jenis kekerasan apa yang dialami oleh para guru sehingga mendorong DPRD Makassar menyiapkan Ranperda. Media yang memuat berita mengenai Ranperda perlindungan guru tersebut juga tidak memuat detail pertimbangan dibalik munculnya Ranperda ini.

Setelah browsing rupanya berita sejenis sangat banyak sejak 2020 seiring maraknya berita kekerasan yang dialami guru. Di beberapa kabupaten kota di Indonesia Perda Perlindungan Guru sudah lama disahkan. Kabupaten Wajo di sulsel dipandang sebagai daerah yang menginisiasi lahirnya Perda Perlindungan Guru dan jadi rujukan sejak 2018. Menariknya Perda Perlindungan Guru diklaim mampu menurunkan tindakan kekerasan terhadap guru di Kabupaten Wajo. Perda ini menjadi semacam ruang kesepahaman antara institusi pendidikan dengan penegak hukum dalam hal ini kepolisian untuk tidak langsung memproses laporan kekerasan oleh guru, terlebih dahulu digelar mediasi serta kordinasi dengan satuan pendidikan terkait.

Klaim keberhasilan Perda Perlindungan Guru oleh DPRD Wajo bukanlah prestasi. Dalam penanganan perkara pidana oleh institusi kepolisian sejak lama dikenal apa yang disebut sebagai restorative justice yang secara terbatas berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative, saat ini dimungkinkan dilakukan oleh institusi kejaksaan dalam kasus yang dikategorikan ringan dengan syarat yang ketat. Institusi kepolisian sendiri dalam menangani kasus dimana antara pihak yang terlibat konflik sudah berdamai diberlakukan asas ultimum remedium, asas yang meletakkan proses penyelesaian pidana sebagai pilihan terakhir seperti dalam kasus konflik antara guru dengan orang tua murid dalam hal pendisiplinan bila terjadi perdamaian. Perspektif ini yang tidak dipertimbangkan sebelum menerbitkan Perda Perlindungan Guru. Akibatnya keberadaan Perda Perlindungan Guru bak menambak gunung, menggarami lautan.

TERKAIT:  Di Tepi Walanae Nama Bupati Diseret

Maraknya berita para orang tua atau masyarakat melaporkan guru yang terlibat kekerasan terhadap murid yang dipandang merugikan guru dan profesi guru merupakan konsekuensi logis munculnya kesadaran baru di era keterbukaan dan kebebasan informasi. Tak seharusnya fenomena ini dilihat sebagai ancaman terhadap profesi guru. Respon publik atas kekerasan oleh guru merupakan hal yang positif sebagai peringatan agar guru tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugas. Praktik kekerasan oleh guru meskipun dengan dalih mendisiplinkan murid tetap tidak bisa menjadi alasan pembenar maupun pemaaf karena akan meninggalkan trauma bagi anak yang akan berpengaruhi jiwanya hingga dewasa. Praktik kekerasan oleh guru di masa lalu sekalipun bersumber pada kesadaran budaya maupun teologi tetap tidak bisa dipertahankan sekalipun atas alasan untuk kebaikan siswa atau murid.

Guru sejatinya sahabat murid, tempat bertanya juga menumpahkan segenap keluh kesah yang membuatnya sulit berkonsentrasi menghadapi pelajaran. Bukan sebaliknya guru yang dianggap ideal kalau murid takut sehingga tidak berani mendebat gurunya. Disadari atau tidak di era dimana guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan otomatis akan berakibat pada tergerusnya legitimasi guru di hadapan murid. Pengetahuan yang kini bisa diakses dan diperoleh dari berbagai sumber di luar guru di kelas berpotensi membuat murid memiliki kemampuan setara bahkan lebih baik dibanding gurunya, apa lagi kalau guru malas belajar.

TERKAIT:  Putri Candrawathi, Korban Skenario Laki-Laki?

Apa yang dirumuskan sebagai the best interest of the child atau prinsip yang terbaik untuk anak dalam UU Perlindungan Anak tidak selalu sejalan dengan sudut pandang budaya yang berpihak pada guru. Semboyan ‘Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani’ yang diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara harus dipahami dan tidak bisa dilepaskan dari konteks masyarakat kala itu. Dalam kultur tradisional kita, guru diletakkan sebagai figur teladan yang harus dihormati dan ditaati, sementara murid tidak boleh membantah apa lagi mengoreksi pendapat guru secara vulgar. Kesadaran budaya yang memosisikan murid sebagai pihak penurut dan tidak boleh membantah ini yang secara tidak langsung memperoleh legitimasi lewat Perda Perlindungan Guru.

Ranperda Perlindungan Guru yang disiapkan DPRD Kota Makassar menimbulkan kebingungan publik khususnya aktivis perlindungan anak. Bagaimana mungkin legislator yang berperan penting mengawasi serta bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, berkewajiban menciptakan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya kesadaran kritis warga justru membungkam sikap kritis tersebut dengan menyiapkan imunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap murid.

TERKAIT:  Putri Candrawathi, Korban Skenario Laki-Laki?

Bagaimana pula jika guru melakukan kekerasan atas dalih mendisiplinkan murid dan merasa memiliki imunitas yang dilindungi Perda ternyata gagal dalam mediasi sehingga kasusnya berlanjut ke pengadilan dan terancam hukuman berat dalam UU Perlindungan Anak? Apakah legislator termasuk akademisi yang merumuskan naskah akademik Perda serta semua pihak dibalik lahirnya Perda tersebut siap pasang badan dan bertanggung-jawab terhadap ancaman pidana yang dihadapi sang guru?

Sulit membayangkan delik kekerasan terhadap anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak diintervensi atau ingin dijinakkan lewat Perda. Secara hierarki Perda berada di bawah UU Perlindungan Anak maupun KUHP sehingga berlaku prinsip, hukum yang kedudukannya lebih tinggi menghapus hukum yang ada di bawahnya, atau hukum yang lebih rendah harus sesuai dengan ketentuan yang ada di atasnya. Bila hal mendasar dan sudah menjadi pengetahuan umum saja tidak dipahami atau sengaja diabaikan oleh legislator Kota Makassar, sulit bagi publik mendiskusikan hal yang jauh lebih rumit seperti filosofi serta spirit perlindungan anak yang mengilhami regulasi perlindungan anak yang diterapkan di hampir seluruh negara yang menganut demokrasi dan menghormati hak asasi manusia. (RT)

Opini ini pernah dimuat di https://saudagarmedia.id/