Kemarin 29 Juni 2022 secara resmi Polda Sulsel melakukan penahanan terhadap Ernawati Yohanis selanjutnya EY dalam kasus dugaan tindak pidana Pemalsuan Surat atau Penggunaan Surat Palsu yang dilaporkan langsung oleh Yan Septedyas, S.T., S.H. Kepala BPN Kota Makassar. Penahanan terhadap EY dilakukan sehari sebelum kunjungan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto di Makassar hari ini, 30 Juni 2022.
Praktik dimana BPN bertindak sebagai pelapor selain tidak lazim juga seharusnya tidak dilakukan karena tanpa sadar BPN Kota Makassar telah bertindak mewakili kepentingan salah satu pihak yang bertikai. Sulit untuk tidak mengatakan BPN tidak terjebak conflick of interest karena melibatkan diri sebagai pihak dalam perseteruan kepentingan dimana sebagai birokrasi seharusnya berperan sebagai pelayan publik yang netral.
Dalam kasus dugaan pemalsuan sertifikat yang dilaporkan langsung Kepala Kantor BPN Kota Makassar ini posisi EY hanya sebagai penerima kuasa dari ahli waris pemilik sertifikat atas nama M. Said yang terbit Tahun 1984.
Menjadi pertanyaan bagi publik bagaimana bisa EY sebagai penerima kuasa yang tidak terlibat dalam penerbitan sertifikat dan hanya menggunakan sertifikat untuk pengecekan ke BPN sebagaimana pengakuan EY sendiri justru ditetapkan sebagai tersangka. Padahal SHM No. 2412 tidak pernah dinyatakan batal atau dibatalkan oleh instansi berwenang.
Hal penting yang tidak mungkin bisa diabaikan karena merupakan sumber masalah adalah konflik yang menjadi penyebab EY ditetapkan sebagai tersangka yakni sengketa lahan eks Kebun Binatang Makassar. Berembusnya isu keterlibatan mafia tanah di kasus eks Kebun Binatang Makassar ini harus menjadi atensi Satgas Anti-Mafia Tanah. EY diduga korban dari konflik lahan yang sebenarnya merupakan domain peradilan perdata.
Berdasarkan penjelasan EY pada Podcast “Kanal Anak Bangsa” dengan tema, “Membongkar Mafia Tanah Di Makassar. Aparat BPN terlibat !!!” yang sempat viral beberapa waktu lalu, pada lahan sengketa eks Kebun Binatang Makassar telah terbit tiga Sertifikat HGB: pertama, SHBG seluas sekitar lima hektar terbit 2013 yang proses penerbitannya berlangsung tujuh hari. Dalam penjelasan EY juga disebut: “Kalau saya tidak salah ingat diukur 22 Mei 2013, dibukukan pada tanggal 29 Mei 2013”. Sementara SHGB kedua dan ketiga terbit 2014 dalam waktu kurang lebih satu bulan.
Lagi-lagi menurut penjelasan EY ketiga SHGB di lahan eks Kebun Binatang Makassar terdaftar atas nama PT Phinisi Inti Property dimana Wilianto Tanta duduk sebagai komisaris. Sementara Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dijadikan dasar pengurusan lahan eks Kebun Binatang Makassar oleh EY adalah SHM No. 2412 atas nama M. Said seluas 5,9 hektar terbit tahun 1984.
Sampai saat ini menurut EY, SHM atas nama M. Said ini tidak pernah dinyatakan atau terbukti palsu oleh instansi berwenang. Sebaliknya EY sudah berulangkali memohon kepada BPN baik dilakukan sendiri sebagai pemegang kuasa ahli waris maupun lewat jasa notaris meminta penjelasan pada BPN prihal keaslian SHM No. 2412 atas nama Muh. Said namun tidak pernah mendapat respon hingga saat ini.
Sekedar gambaran harga tanah di eks Kebun Binatang Makassar ini berdasarkan informasi berkisar 25 juta per meter persegi. Kalau informasi ini benar bisa dibayangkan bila luas SHM yang diperjuangkan EY adalah 5,9 hektar maka harga lahan yang jadi rebutan berkisar 1,4 triliun, harga yang sangat fantastis. Ini yang sejak awal diduga penyebab sengkarut berkepanjangan di lahan eks Kebun Binatang Makassar.
Kehadiran Menteri ATR/BPN di Makassar hari ini dengan agenda utama memonitor penanganan masalah pertanahan terutama menyangkut keterlibatan mafia tanah sebaiknya menjadi momentum untuk membuka masalah ini selebar-lebarnya pada publik untuk menjernihkan kecurigaan publik pada keberpihakan BPN dalam penanganan kasus ini, sekaligus sebagai bukti komitmen serta keseriusan pemerintah dalam hal ini Kementerian ATR/BPN pada upaya mencegah serta memberantas praktik mafia tanah yang meresahkan masyarakat Kota Makassar selama ini.
Namun sulit bagi institusi pemerintah membuka masalah eks Kebun Binatang Makassar tanpa dukungan informasi maupun dokumen dari EY sebagai pihak yang terlibat secara intens selama bertahun-tahun dalam kasus ini. Pemahaman EY terhadap subtansi lahan eks Kebun Binatang Makassar sangat kompleks termasuk pihak atau pengusaha yang terlibat hingga hal yang sangat subtil.
Agar bisa berperan maksimal sebaiknya Menteri ATR/BPN menyarankan Polda Sulsel menangguhkan sementara penahanan EY agar lebih leluasa membantu pemerintah menbongkar dugaan keterlibatan mafia tanah di lahan eks Kebun Binatang Makassar.