Saat Kepala Daerah Terjebak Korupsi Wakilnya di Mana?

Ilustrasi Korupsi

Setelah melewati persidangan panjang akhirnya Gubernur nonaktif Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah divonis lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta terkait kasus suap dan gratifikasi proyek infrastruktur.
Nurdin juga dijatuhkan hukuman membayar uang pengganti sebesar Rp 2.187.600.000 dan 350.000 dollar Singapura.

Mengapa saat terjaring OTT atau ketika kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap atau penyalahgunaan wewenang umumnya tidak satu paket dengan wakilnya. Pertanyaan ini jarang diajukan publik saat terjadi OTT atau penetapan tersangka tindak pidana korupsi terhadap bupati, walikota atau gubernur. Sebaliknya justru isu pecah kongsi keduanya sering menjadi rumor dibalik OTT atau ditetapkannya kepala daerah bersangkutan sebagai tersangka.

Absennya wakil kepala daerah dalam OTT atau penetapan tersangka yang melibatkan kepala daerah yang biasanya terkait proyek strategis menunjukkan dominannya peran kepala daerah dibanding wakilnya dalam pengambilan kaputusan menyangkut proyek yang bersifat strategis.

TERKAIT:  Kuasa Hukum Tersangka Pemalsuan Sertifikat Eks Kebun Binatang Meminta Penyidik Polda Sulsel Memeriksa Willianto Tanta Sebagai Saksi

Eksistensi wakil kepala daerah dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang tugasnya membantu kepala daerah, faktanya tidak lebih sebagai pelengkap yang secara yuridis tidak memiliki kewenangan tanpa legitimasi kepala daerah. Sebagai pembantu kepala daerah, wakil kepala daerah baru bisa efektif berperan bila menerima mandat berupa surat keputusan penugasan dari kepala daerah. Hanya saja prakteknya, sepanjang kepala daerah bisa melaksanakan tugas-tugas pemerintahan maka surat keputusan tidak akan pernah dibuatkan untuk wakilnya. Kalaupun surat keputusan dibuat, maka penugasan wakil dibatasi pada tugas pemerintahan yang kurang strategis. Fenomena disharmonis antara kepala daerah dengan wakilnya dipicu oleh relasi yang timpang ini.

Bagi wakil kepala daerah yang berkontribusi selama proses pencalonan hingga kampanye ini yang biasanya menuntut peran yang lebih besar. Sebaliknya wakil kepala daerah yang tidak memiliki kontribusi finansial yang signifikan melainkan dipilih karena pertimbangan sosiokultural misalnya dan hanya duduk manis biasanya tidak rewel menuntut kewenangan dalam pengambilan keputusan.

TERKAIT:  Bank Syariah: Yusuf Hamka, JK & OJK Yang Tak Bertaring

Konsekuensi dari pemilihan kepala daerah langsung melahirkan proses politik berbiaya tinggi. Besarnya mahar politik untuk memperoleh mandat parpol serta kebutuhan logistik selama sosialisasi dan kampanye yang tidak kecil ‘memaksa’ kandidat kepala daerah mencari donatur yang bersedia menjadi sponsor dengan garansi proyek pasca terpilih. Transaksi model ijonan ini yang melahirkan monopoli proyek oleh kontraktor tertentu yang sejak awal berkontribusi terhadap kepala daerah terpilih. Sebutan kontraktornya gubernur A, bupati B atau walikota C terhadap kontraktor tertentu lahir dari konteks ijonan ini.

Posisi wakil kepala daerah dianggap rawan karena berpotensi menjadi ancaman bagi kepala daerah pada periode pemilihan berikutnya. Psikologi ini yang membuat kepala daerah membatasi ruang gerak wakilnya terutama kaitannya dengan proyek yang bersifat strategis sekali pun wakil kepala daerah bersangkutan berkontribusi signifikan saat pencalonan.

TERKAIT:  Ketua Panitia Tersangka, Siapa Menyusul?

Terlepas beragamnya penyebab seseorang terlibat korupsi, absennya wakil kepala daerah saat terjadi OTT atau penetapan tersangka korupsi terhadap kepala daerah bisa dijelaskan lewat argumen ini.

Praktik korupsi akibat tersandera kepentingan pemodal yang oleh Mahfud MD disebut cukong sudah merupakan rahasia umum. Seharusnya praktik korupsi lewat pola ini bisa dihentikan, setidaknya bisa diminimalisir jika syarat pencalonan bisa disederhanakan dengan melonggarkan jalur perseorangan misalnya. Atau pilihan yang lebih ekstrim dengan mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah lewat DPRD, hal yang dipandang sebagai kemunduran. Apa pun pilihannya akan memiliki konsekuensi yang tidak sederhana.

Demokrasi tidak melompat dari ruang vakum, butuh kecerdasan juga kesadaran sebagai titik pijak. Sesuatu yang masih terasa sebagai ilusi di tengah rendahnya indeks kualitas sumberdaya manusia kita yang melorot di bawah Vietnam. (RT)