- Foto ilustrasi: Dicomot dari Google
Di tengah ikhtiar menghadirkan dunia yang lebih ramah terhadap perempuan sontak publik dikejutkan dengan tingkah nyeleneh Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPRD Banyuwangi, Basir Qodim yang mengusulkan “Raperda Janda“.
Alasan pengusulan Raperda ini karena keperihatinan akan tingginya tingkat perceraian di Banyuwangi. “Dalam setahun sebanyak 7.000 janda baru di Banyuwangi. Sehingga butuh perhatian khusus bagi pemerintah setempat,” ungkap Basir.
Bila dicermati secara kritis, dibalik gagasan “Raperda Janda” idiologi patriarki bekerja diam-diam. Dalam masyarakat patriarki janda bukan istilah yg netral melainkan seksis. Janda dipandang sebagai antitesis dari perempuan atau ibu yang ideal. Makna janda mengalami pergeseran akibat konstruksi sosial yang bisa dilacak jauh dalam tradisi, budaya maupun tafsir keagamaan.
Perempuan atau ibu dalam masyarakat patriarki dicitrakan sebagai pendamping suami dengan tugas utama mengasuh anak dan melayani seluruh kebutuhan suami. Aktivitasnya di rana domestik membuat perempuan atau ibu hanya berputar diantara sumur, dapur dan kasur.
Beruntung di era sekarang aktivitas publik bisa dijalankan dan dikendalikan dari rumah. Namun tidak berarti ruang gerak perempuan atau ibu menjadi leluasa. Perempuan yang karena desakan kebutuhan ekonomi harus bekerja di luar rumah ternyata harus berhadapan dengan kenyataan akan ancaman pembatasan serta kekerasan di ruang publik dalam masyarakat patriarki, hal serupa juga dialami janda. Namun tidak berarti mereka bersedia menerima tawaran dipoligami dan kembali menjalani pembatasan serta potensi kekerasan berlipat karena harus hidup dengan madunya.
Pembatasan peran perempuan pada sektor domestik ditanam sejak dini sehingga berfungsi mengontrol dan menuntut kepatuhan perempuan terhadap batasan yang digariskan patriarki termasuk bagaimana seharusnya perempuan atau ibu berprilaku.
Akibat konstruksi sosial tersebut, perempuan yg diketahui berpisah dengan suaminya dipandang gagal menjalankan tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga ideal yakni melayani suami dan menjaga anak-anaknya.
Konsekuensi kegagalan mempertahankan keharmonisan rumah tangga, janda memperoleh setigma negatif berupa, sikap liar serta penggoda.
Stigma ini tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang patriarki yang melihat perempuan sebagai mahluk seksual yang tugasnya memenuhi kebutuhan seksual laki-laki. Dengan status janda, perempuan yang pada dasarnya dianggap mahluk penggoda dipandang makin tak terkendali karena menjadi janda.
Tak cukup sampai di situ di ruang publik status janda menjadi bahan lelucon sekaligus sinisme. Ungkapan seksisme terhadap janda menempel di bak truk hingga komentar di grup WA mereka yang tergolong terpelajar.
Pilihan foto ilustrasi pada catatan ini merupakan upaya melawan stigma mengenai janda dalam bayangan masyarakat patriarki.
Kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjadi bukti betapa rentannya perempuan dalam rumah tangga sehingga harus dibuat regulasi khusus untuk menjangkau pelaku kekerasan yg umumnya laki-laki rupanya tak cukup efektif mengurangi angka kekerasan terutama kekerasan verbal terhadap perempuan dan janda.
Demi mencegah seorang janda terjerembab dalam dosa seperti mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain sekaligus melindungi janda dari gangguan laki-laki iseng serta memenuhi kebutuhan ekonominya muncul usulan melalui Raperda.
Bahwa selain bertujuan melindungi para janda lewat Raperda juga diharapkan agar laki-laki melindungi mereka lewat praktik poligami.
Padahal dengan membuat regulasi khusus bagi janda, tanpa sadar justru melegitimasi kultur yang sejak awal mendiskreditkan janda. Pertama, spintas gagasan ini terlihat mulia karena bermaksud melindungi janda, padahal bisa jadi siasat untuk berpoligami. Kedua, pandangan sprti membuat perempuan ketakutan memilih berpisah dengan pasangannya sekalipun setiap hari mengalami KDRT katena tidak ingin berstatus Janda yang akan menerima stigma negatif dari masyarakat yang perlu mendapat perlindungan dari laki-laki lain dengan menikahinya atau dipoligami demi melindungi martabatnya dan memenuhi kebutuhan ekonominya.
Dengan memutuskan menjadi janda, seorang perempuan justru bisa mengekspresikan dirinya secara total sebagaimana layaknya manusia merdeka tanpa harus terbelenggu budaya patriarki dalam keluarga.
Tiap kali pengadilan mengabulkan gugatan cerai seorang istri akan nampak seorang perempuan tersenyum sumringa seperti terlahir kembali setelah bertahun-tahun terhimpit beban yang sangat berat