Empat hari lalu bertepatan dengan kunjungan kerja Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto di Makassar media ramai memberitakan prestasi penegak hukum karena berhasil menahan dua orang yang dianggap mafia tanah di Makassar. AS dan EY diduga memalsukan atau menggunakan sertifikat palsu atas nama M. Said yang terbit 1984 yang obyeknya terletak di jalan jl. Urip Sumuharjo atau lebih dikenal sebagai eks Kebun Binatang Makassar.
AS adalah ahli waris M. Said merupakan pensiunan ASN kelahiran 1959 dan sering sakit-sakitan. Sementara EY adalah Ibu Rumah Tangga berusia 51 tahun yang diduga terlibat menggunakan sertifikat terbitan 1984 tadi.
Penyematan mafia tanah oleh media terhadap dua tersangka dugaan pemalsuan sertifikat rasanya berlebihan bila meminjam definisi Menteri Polhukam, Mahfud MD mengenai mafia tanah. Mahfud MD adalah tokoh yang sejak awal punya gagasan besar pemberantasan mafiah tanah lewat Satgas Anti-Mafia Tanah sehingga sudut pandang atau definisi Mahfud MD mengenai mafia tanah sangat penting dikemukakan. Bagi Mahfud MD mafia tanah adalah orang yang tidak memiliki tanah lalu berkolaborasi dengan oknum penentu kebijakan dengan memanfaatkan mekanisne hukum untuk mengambil tanah negara atau tanah masyarakat. Mahfud MD mencontohkan ratusan bahkan ribuan hektar tanah negara yang tidak pernah dialihkan tiba-tiba sudah dibagi-bagi swasta dengan bukti pemilikan yang sah secara hukum.
Mahfud MD bermaksud menunjukkan fakta bagaimana mereka yang dikategorikan sebagai mafia tanah bekerja tidak cara kekerasan fisik atau pemaksaan dengan cara misalnya memaksa masyarakat menyerahkan paksa tanah mereka melainkan dengan memanfaatkan institusi penegak hukum seperti pengadilan untuk menguasai tanah masyarakat atau negara dengan bekerja sama dengan oknum di institusi negara dari kelurahan hingga BPN untuk mempersiapkan dokumen resminya.
Secara sederhana kategori mafia tanah dalam definisi Mahfud MD adalah mereka yang memiliki kemampuan berkolaborasi dengan oknum pengambil keputusan atau pemegang otoritas di bidang pertanahan serta mampu memanfaatkan institusi penegak hukum untuk menjadikan instrumen hukum sebagai justifikasi dalam mengambil alih atau menguasai tanah milik masyarakat atau negara secara legal.
Pertanyaan publik sederhana apa bisa tersangka AS yang merupakan pensiunan PNS berumur 63 tahun dan sakit-sakitan termasuk dalam kategori mafia tanah dalam versi Mahfud MD. Halnya dengan EY, ibu rumah tangga usia 51 tahun yang merupakan penerima surat kuasa pengurusan sertifikan milik tersangka AS.
Menarik sekaligus membuat miris karena sertifikat dengan No. 2412 tidak pernah dinyatakan bermasalah atau tidak otentik oleh institusi berwenang. Bahkan sebaliknya berulangkali EY sebagai pemegang kuasa mengurus obyek dalam sertifikat bolak-balik ke BPN menanyakan keberadaan atau otentisitas sertifikat tersebut tapi tidak pernah keluar jawaban resmi dari BPN sebagai institusi resmi. Sialnya tanpa bukti ketidakaslian sertifikat 2412 yang terbit 1984 atas laporan yang diajukan langsung Kepala BPN Makassar AS dan EY dinyatakan tersangka oleh Polda Sulsel.
Penetapan tersangka ini memicu pertanyaan publik, mengapa bisa akta otentik yang tidak pernah dibatalkan atau dinyatakan bermasalah oleh putusan pengadilan dijadikan sebagai dasar penetapan tersangka delik pemalsuan atau penggunaan sertifikat palsu?
Sebagai dokumen kepemilikan tanah atau rumah Sertifikat Hak Milik berada di kasta tertinggi. Konsekuensi hukumnya adalah Sertifikat Hak Milik harus dipandang sebagai otentik selama tidak terbukti sebaliknya. Dalam kasus penetapan tersangka pemalsuan atau penggunaan sertifikat palsu oleh AS dan EY dengan Pasal 263 KUHP logikanya sertifikat harus terlebih dahulu terbukti tidak otentik atau palsu baru boleh ada pihak yang terbukti memalsukan atau menggunakan sertifikat palsu tersebut.
Pernyataan aparat penegak hukum di media mengenai fakta hasil penelusuran tidak ditemukan dokumen terkait Sertifikat 2412 lebih berfungsi sebagai framing untuk menggiring opini publik seakan dengan tidak ditemukannya dokumen di BPN lantas Sertifikat 2412 bisa disimpulkan sebagai palsu. Pernyataan, tepatnya kesimpulan ini mengandung logic fallacy karena kewajiban pengarsipan dokumen negara yang menyangkut pertanahan juga tersurat perintah menjaga jangan sampai arsip negara musnah atau hilang. Bukan pemilik sertifikat atau ahli warisnya yang berkewajiban menjaga jangan sampai warkah atau dokumen tanah di BPN tidak hilang atau rusak melainkan kewajiban BPN sendiri. Termasuk memberi penjelasan resmi pada pihak berkepentingan bila meminta penjelasan mengenai dokumen mereka. BPN terbukti abai terhadap kewajibannya ketika berulangkali diminta penjelasan justru memilih diam.
Meminjam perspektif Ibrahim Anwar dari Lembaga Aliansi Indonesia saat wawancara dengan Podcast “Kanal Anak Bangsa” saat ditanya siapa pemilik sah tanah eks Kebun Binatang Makassar. Dengan merujuk pada hasil riset mahasiswa untuk materi sekripsi dan dipertahankan di depan penguji tahun 2018 lalu serta berdasarkan dokumen yang tunjukkan EY sekaligus sebagai pihak mengikuti perkembangan kasus ini serta kasus lain yang diduga melibatkan mafia tanah di makassar, Ibrahim Anwar tanpa ragu-ragu menyebut M. Said sebagai pemilik sah lahan seluas 5,9 hektar yang merupakan lahan eks Kebun Binatang Makassar. Ibrahim dalam wawancara tersebut menjelaskan panjang lebar dasar kepemilikan M. Said yang juga orang tua tersangka AS dengan merujuk riwayat tanah serta dasar yuridis yang sulit dibantah.
Menurut Ibrahim: “Lahan seluas sekitar 5,9 hektar yang terletak atau lebih akrab dikenal publik Makasaar sebagai eks Kebun Binatang disertifikatkan dengan No. 2412 oleh M. Said dari tanah negara eks eigendom yang terbitkan oleh Agraria waktu itu karena BPN baru berdiri SK Presiden No. 26/1988 masih Kementerian Dalam Negeri atau Direktorat Agraria pada saat itu. Berdasarkan penjelasan UUPA Tahun 1960 Pasal 19 tersebut bahwa untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dalam kepemilikan tanahnya dibuka pendaftaran di seluruh Indonesia. Sebagai warga negara yang baik M. Said telah menunjukkan kepatuhannya terhadap undang-undang dengan cara mendaftarkan tanah tersebut dengan No. Pendaftaran 21559 seluas 5,9 hektar yang saat ini lebih dikenal sebagai lahan eks Kebun Binatang”.
Melihat kompleksitas permasalahan pada konflik lahan eks Kebun Binatang Makassar pihak Kejaksaan Tinggi Sulsel sebaiknya ekstra teliti menangani berkas perkara yang dilimpahkan penyidik. Halnya dengan Jaksa Agung RI serta Satgas Anti-Mafia Tanah untuk tidak berfokus hanya pada dugaan pemalsuan yang sedang bergulir di institusi kepolisian melainkan menggeleda sumber masalah yakni sengkarut kepemilikan tanah eks Kebun Binatang Makassar di mana BPN diduga tidak netral serta eksistensi SHGB yang terbit tahun 2013 dan 2014 atas nama PT Phinisi Inti Property yang komisarisnya adalah Wilianto Tanta padahal di atas obyek terdapat SHM No. 2412 atas nama M. Said yang terbit 1984 dan tidak pernah dinyatakan batal atau terbukti palsu oleh putusan pengadilan.
Keberadaan SHGB atas nama Phinisi Property di atas Sertifikat No. 2412 atas nama M. Said yang terbit 1984 itu menurut Ibrahim Anwar berawal dari gugat menggugat antara almarhum Latief Makka dengan Balobo Daeng Ugi, adik perempuan Jenderal Hertasning dan Drs. Arifuddin Donggeng, anak dari Bupati Takalar pertama Donggeng yang dimenangkan oleh Latief Makka. Oleh Alm. Latief Makka obyek yang dimenangkannya diajukan ke BPN untuk disertifikatkan. Oleh BPN permohonan Alm. Latief Makka ini ditolak dengan surat resmi tertanggal 19 Mei Tahun 2000 yang isinya menjelaskan pada pemohon kalau di atas obyek yang dimohonkan penerbitannya terdapat Sertifikat Hak Milik atas nama M. Said yang terbit Tahun 1984 dari konversi tanah negara bekas eigendom verponding. Obyek yang awalnya gagal disertifikatkan Alm. Latief Makka belakangan diketahui telah terbit SHGB atas nama PT Phinisi Inti Property. Demikian penjelasan panjang Ibrahim Anwar mengenai riwayat sengkarut di eks lahan Kebun Binatang Makassar.
Terkait isu pencegahan serta pemberantasan mafia tanah penting mengingatkan pernyataan Mahfud MD bahwa sekalipun telah keluar putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkrach manakala ditemukan adanya indikasi keterlibatan mafia tanah dalam suatu kasus pelakunya akan tetap diproses hukum, pidana umum maupun tindak pidana korupsi bila terindikasi merugikan masyarakat atau negara.