“All is de leugen nog zo snel de waarheid achterhaalt haar wel”.
(Pepatah Belanda)
Tabir yang menyelimuti proses penetapan tersangka mafia tanah lahan Eks Kebun Binatang Makassar pelan-pelan mulai tersingkap. Spekulasi publik terhadap alasan penyidik menerapkan Pasal 263 ayat (2) serta Pasal 264 ayat (2) mengenai penggunaan surat palsu atau seolah-olah asli terhadap kedua tersangka kini tergambar dalam resume Surat Perpanjangan Penahanan tersangka.
Untuk menghindari kemungkinan kesalahan interpretasi terhadap alasan penerapan pasal pemakaian sertifikat palsu yang diterapkan penyidik, berikut kutipan surat perpanjangan penahanan tersangka yang memuat gambaran alasan dimaksud:
“Bahwa pada Bulan Juni tersangka dugaan tindak pidana Pemalsuan dan atau Pemalsuan Surat yang dilakukan oleh terlapor dengan cara terlapor meminta kepada Kantor Pertanahan Kota Makassar agar mengecek dan membatalkan Sertifikat Hak Guna Bangun No. 20026, Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 20027, Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 20017 dengan dasar foto copy Sertifikat Hak Milik No. 2412 yang sudah dilegalisir. Kemudian Kantor Pertanahan Nasional Kota Makassar memproses permintaan terlapor namun Kantor Pertanahan Kota Makassar tidak menemukan buku tanah yang diajukan oleh terlapor (tidak terdaftar). Akibat kejadian tersebut Kantor Pertanahan Kota Makassar mengalami kerugian immateril. Selanjutnya korban merasa keberatan dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak pihak kepolisian guna penyelisikan lebih lanjut melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHPidana dan atau Pasal 264 ayat (2) KUHPidana Jo Pasal 55, 56 KUHPidana”.
Melihat alasan pelaporan Kepala Kantor BPN Kota Makassar, Yan Septedyas, S.T., S.H. serta penerapan Pasal 263 ayat (2) dan atau Pasal 264 ayat (2) oleh penyidik sangat sulit bagi publik memahami kalau orang yang mengajukan permohonan pembatalan SHGB yang terbit di atas SHM miliknya bisa ditetapkan sebagai tersangka delik pemalsuan.
Sama sulitnya publik memahami sikap Kepala Kantor BPN Kota Makassar yang bertindak sebagai pelapor karena merasa dirugikan secara imateril karena ada pihak yang meminta pembatalan sertifikat.
Bukankah dengan ditolaknya permohonan pembatalan EY otomatis Kepala Kantor BPN tidak dirugikan. Tindakan ngotot Kepala Kantor BPN Kota Makassar melaporkan kedua tersangka ini yang memicu spekulasi publik mengenai keberpihakan Kepala Kantor bersangkutan.
Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar tidak memiliki kepentingan langsung dalam sengketa kepemilikan lahan Eks Kebun Binatang sehingga tak seharusnya menceburkan diri dalam arena sengketa.
Kepala Kantor BPN Kota Makassar seharusnya memahami kalau setiap orang yang merasa dirugikan akibat terbitnya sertifikat baru di atas sertifikat miliknya berhak meminta pembatalan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pembatalan sertifikat dapat dilakukan di luar mekanisme peradilan dengan mengajukan permohonan yang diajukan secara tertulis kepada Menteri atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan (Pasal 110 jo. Pasal 108 ayat (1) Permen Agraria/BPN 9/1999).
Penting pula diberi catatan bahwa EY sebagai pemegang kuasa mengecek SHM/1984 diawali dengan permohonan pengecekan selama dua kali yang dilakukannya sendiri maupun lewat jasa Notaris namun tidak pernah memperoleh jawaban resmi. Baru pada kali ketiga EY mengajukan permohonan pengecekan serta pembatalan terhadap tiga SHGB atas nama PT Phinisi Inti Property dimana oleh berbagai sumber nama Wilianto Tanta disebut-sebut tercatat sebagai komisaris.
Melihat gambaran fakta dibalik penahanan kedua tersangka sebaiknya Kapolda Sulsel atas nama hukum, keadilan serta kearifan meninjau ulang atau menangguhkan penahanan kedua tersangka.