Yusril dan Kisah Merpati yang Menuntut Keadilan

Beberapa jam lalu, Prof. Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pernyataan ke publik bahwa penetapan tersangka yang dilakukan Polda Metro Jaya terhadap Firli Bahuri tergesa-gesa sehingga mengabaikan prinsip minimal dua alat bukti. Yusril dengan jumawa meminta Polda Metro menghentikan penyidikan kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Firli terhadap Syl.

Pernyataan Yusril ini menarik bukan karena kualitas pernyataan itu sendiri melainkan karena disampaikan oleh profesor hukum yang pendapatnya sering dijadikan rujukan.

Sebagai pakar pandangan Yusril berpotensi mempengaruhi panilaian publik mengenai cara kerja penyidik yang dianggap tidak obyektif dan bisa jadi pernyataan tersebut memang ditujukan untuk kepentingan itu. Di sini letak masalahnya, karena bisa jadi justru pandangan Yusril yang kemungkinan bias.

Untuk mampu mengetahui obyektivitas tindakan penyidik, Yusril tidak cukup mengintip dari luar, dia harus terlibat masuk ke dalam dan melihat langsung fakta yang sebenarnya, berapa saksi yang diperiksa serta seberapa akurat kesaksian para saksi serta alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka oleh penyidik. Hanya dengan menceburkan diri langsung pandangan Yusril secara akademik bisa dipertanggungjawabkan. Kecuali dalam memberi penilaian, Yusril bertindak sebagai penasihat hukum Firli yang sudah berusaha mendalami fakta berdasarkan akses yang diperoleh dari kliennya.

TERKAIT:  Demokrasi dan Eksistensi Kotak Kosong dalam Pilkada

Jika penilaiannya terhadap kasus Firli karena posisinya sebagai penasihat hukum maka penilaian Yusril kemungkinan bias karena pandangannya terhadap kasus yang ditanganinya berhimpit dengan kepentingan kliennya. Di sini berbahayanya mereka yang berjubah guru besar yang nyambi sebagai praktisi.

Mengapa penilaian terhadap kasus yang masih dalam proses penyidikan tidak mudah dipastikan akurasinya bahkan bagi seorang praktisi yang terlibat langsung karena keterbatasan akses pada alat bukti dan saksi. Di tahap penyidikan praktisi hukum hanya mamiliki akses pada kesaksian kliennya serta pihak tertentu, sementara alat bukti serta saksi lainnya ditutup rapat penyidik sehingga obyektivitas penilaian dari sudut pandang praktisi hukum cenderung bias atau tidak obyektif kecuali dalam kasus yang terbilang tidak rumit atau faktanya terbuka lebar.

Kenekatan Yusril memastikan penyidik tergesa-gesa menetapkan Firli sebagai tersangka karena menurutnya belum cukup bukti memberi kesan Yusril telah menceburkan diri dalam kasus ini dan sudah berusaha mendalaminya lebih jauh. Namun untuk sampai pada kesimpulan penyidik tidak cukup bukti justru Yusril yang tergesa-gesa, kecuali Yusril memosisikan diri sebagai penasihat hukum Firli.

TERKAIT:  Ayo Bergabung dalam Tournament "KAPOLRES CUP II" di Desa Lompulle

Jika kepentingan Yusril sampai berhimpit dengan kepentingan Firli maka penilaiannya terhadap proses penyidikan tidak lagi bisa diposisikan sebagai penilaian seorang guru besar melainkan sebagai praktisi yang memperjuangkan kepentingan kliennya. Kemungkinan biasnya penilaian yang memprioritaskan kepentingan subyektif kliennya bukan semata-mata karena yang bersangkutan seorang praktisi melainkan karena di tahap penyidikan apalagi dengan jumlah saksi yang sangat banyak dan tidak bisa diakses pihak luar selain penyidik membuat obyektivitas penilaian nyaris mustahil. Faktor ini yang menjelaskan mengapa biasanya pelaku tindak pidana korupsi sulit mengelak saat seluruh fakta digelar di persidangan. Namun tentu tidak berarti mengesampingkan fakta banyaknya perkara yang bebas karena ketidakprofesionalan penyidik berikut praktik kriminalisasi yang baru bisa dbuktikan di depan persidangan ketika seluruh fakta digelar secara terbuka.

Pembuktian perkara pidana selalu berangkat dari fakta sehingga tidak bisa diabstraksi dari jauh sekalipun oleh seorang pakar. Perkara pidana menganut Asas In Criminalibus Probationes Bedent Esse Luce Clariores atau bukti harus lebih terang dari cahaya.

Saya tidak tahu apakah Yusril secara resmi telah menjadi penasihat hukum Firli atau sebatas pakar yang menganalisa kasus ini dari kejauhan.

TERKAIT:  Ngobrol Politik di KIU, Bak Debat di Atas Roller Coaster

Dengan rasa sedih yang sulit digambarkan, merpati itu menghadap Nabi Sulaiman yang terkenal hakim yang adil dan bijaksana mengadukan pemburu yang baru saja membunuh pasangannya. Keberatan si merpati bukan karena suaminya mati di tangan seorang pemburu, melainkan karena si pemburu memakai jubah ulama dengan kitab yang dikepit di satu tangan sementara tangan yang lain membawa tongkat dan baru menampakkan karakter aslinya ketika pasangan merpati yang sedang bertengger berada dalam jangkauan tongkatnya. Kata si merpati pada Nabi Sulaiman, “Yang Mulia, saya tidak keberatan dia membunuh suami saya sebagai pemburu, tapi mengapa dia memakai jubah ulama saat berburu sehingga kami menyangkanya orang alim dan tidak berusaha menghindar dari jangkauan tongkatnya”.