“Berbagai proyek yang ditawarkan pada korban ternyata fiktif”
Nyaris genap setahun sejak korban melaporkan dugaan tindak pidana penipuan yang menimpanya pada penyidik Polres Luwuk Banggai namun belum menunjukkan titik terang. DK yang menjadi korban penipuan sampai saat ini belum melihat tanda-tanda 2,425 M miliknya yang raib akan kembali. Padahal uang tersebut faktanya tidak kemana-mana atau dibawa kabur pelaku ke luar daerah melainkan hanya berputar-putar disekitar dua atau tiga orang yang semuanya warga Luwuk.
Korban yang dikenal sebagai perempuan pengusaha ini mengeluhkan proses penyelesaian kasus yang menimpanya berlarut-larut tanpa kepastian.
Berawal sekitar Maret 2021 ketika korban dihubungi Sdri. HRS atau lebih dikenal dengan IC warga Luwuk Banggai untuk meminjam dana pada korban sebesar 500 juta untuk pembiayaan proyek dengan kesepakatan akan dikembalikan dalam jangka waktu 45 hari dengan keuntungan sebesar 80 juta.
Karena tidak menepati janji dan terus didesak, IC menyerahkan beberapa Invoice Proyek PAU ke korban untuk meyakinkan korban kalau yang bersangkutan punya proyek di PAU.
Beberapa waktu pasca penjelasan IC pada korban mengenai invoice miliknya pada Proyek PAU tiba-tiba muncul sosok IT yang sebelumnya tidak dikenal korban menelpon ke hp suami korban menggunakan hp milik IC yang kebetulan diangkat sendiri oleh korban dimana IT menjelaskan pada korban kalau IC punya proyek yang sementara berjalan.
Sekitar dua hari pasca menelpon korban lewat Hp IC, IT mendatangi korban dan menawarkan Proyek MPS (Man Power Supply) senilai Rp. 2.1 M pada korban dengan mengatakan, “Ini sebenarnya proyeknya IC kenapa bukan korban saja yang ambil”. Oleh korban dijawab, “Saya tidak punya dana tunai sebesar itu”. Selanjutnya korban dan IT berhasil mengajak SBHN alias SB bergabung.
Dalam kerjasama ini disepakati, korban dan SB masing-masing menyerahkan 1,05 M dengan janji keuntungan sebesar 650 juta. Uang 2,1 M tersebut diserahkan dua hari kemudian secara tunai pada IT.
Sekitar dua hari setelah penyerahan uang secara tunai dari korban dan SB ke IT, tiba-tiba IC mengembalikan dana yang dipinjamnya plus keuntungan ke korban sebesar 580 juta. Penting pula disampaikan pengakuan IT ke korban bahwa dari bisnisnya IC keuntungan yang diperoleh IC antara 600 hingga 700 juta yang digunakannya membeli mobil Pajero bekas.
Berdasarkan sumber terpercaya, korban memperoleh informasi kalau berdasarkan penjelasan IT, dana sebesar 2,1 M yang diserahkan tunai oleh korban dan SB di penginapan SB pada IT, sebesar 1,8 M diserahkan IT pada IC. Sementara sisanya sebesar 300 juta dipakai sendiri oleh IT. Fakta ini menunjukkan betapa signifikannya posisi IC dalam kasus ini.
Setelah melewati batas waktu yang dijanjikan dan terus didesak oleh korban dan SB, IT lalu menyerahkan kompensasi keterlambatan sebesar masing-masing 25 juta untuk korban dan SB. Namun korban menyerahkan kembali dana 25 juta tersebut plus tambahan 5 juta pada IT sehingga total 30 juta sebagai rambahan investasi.
Pada tanggal 6 Oktober 2021, IT kembali menawarkan pada korban Proyek MPS (Man Power Supply) senilai 2,750 M pada korban dan SB dengan janji keuntungan sebesar 1 M dalam jangka waktu 45 hari. Korban dan SB bersepakat patungan masing-masing berinvestasi 1, 375 M. Namun setelah korban melakukan transfer pada IT tiba-tiba SB mengatakan tidak ikut pada investasi tersebut dan menjelaskan pada korban kalau mereka berdua sudah tertipu justru setelah SB menerima transferan dari IT yang merupakan uang korban.
Menariknya dari beberapa sumber terpercaya diperoleh informasi bahwa dana 1,375 M yang ditransfer korban ke rekening IT di hari yang sama langsung ditransfer IT ke rekening SB. Fakta ini menimbulkan tanda-tanya besar karena sebelumnya korban dan IT bersepakat akan mentransfer dana ke rekening IT yang ketika mengetahui korban sudah melakukan transfer tiba-riba SB berubah pikiran dan menyampaikan kepada korban kalau dirinya mundur dari proyek tersebut karena mereka selama ini sudah tertipu.
Terlepas dari IT yang memiliki utang pada SB, dana yang ditransfer ke rekening IT oleh korban yang kemudian selanjutnya oleh IT di hari yang sama ditransfer ke rekening SB sebesar 1,375 M merupakan hasil kejahatan sehingga wajib hukumnya bagi penyidik menyita uang tersebut sebagai barang bukti.
Tindakan penyidik yang tidak menyita bukti kejahatan tersebut berpotensi memperburuk citra institusi kepolisian di mata publik.
Untuk menjaga obyektivitas, sebaiknya penyidik segera menyita dana tersebut sebagai bukti kejahatan serta menyiapkan instrumen TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) untuk menjerat pihak yang bermaksud mengalihkan bukti kejahatan tersebut.
Erik Ronaldo Alimun, S.H. penasihat hukum korban mengatakan keliru kalau hanya Sdri. IT yang hendak dijadikan tersangka oleh penyidik sementara peran pihak lain yang terlibat secara bersama-sama sebagai pihak yang turut serta (deelneming) tampak secara kasat mata.
Penasihat hukum korban juga mendesak penyidik untuk segera menetapkan tersangka dan melakukan penahanan karena sejak dilaporkan pada bulan Maret 2021 upaya restorative justice yang difasilitasi penyidik gagal.
Kesan memihak penyidik karena seharusnya tidak membiarkan kasus berlarut-larut hingga nyaris berjalan setahun tanpa penetapan tersangka. Seakan upaya restorative justice hanya boleh digelar di tahap penyelidikan padahal ditahap penyidikan bahkan di institusi kejaksaan pun restorative justice masih dimungkinkan bahkan dianjurkan. Karena mereka yang diduga terlibat ini tidak berstatus tersangka dan dilakukan penahanan membuat mereka merasa aman. Coba mereka yang diduga terlibat dinaikkan statusnya menjadi tersangka lalu ditahan ceitanya menjadi lain.
Penasihat hukum korban juga meminta penyidik untuk tidak menjadikan IT sebagai “tumbal” bagi orang lain yang seharusnya juga ditarik sebagai tersangka.
Saat ini IT yang merupakan alumni S2 Ilmu Komunikasi salah satu perguruan tinggi ternama di Makassar ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Palu dalam kasus yang sama
Korban serta penasihat hukum berharap publik Sulteng, terutama warga Luwuk Banggai ikut mengawasi jalannya kasus ini agar tetap dalam koridor hukum.
Foto: Erik Ronaldo Alimun